PRINCIPLES OF POND FISH CULTURE

PRINCIPLES OF POND FISH CULTURE

1. Fish are dependent for food directly or indirectly on plants.
2. The weight of fish which can be produced in natural waters is dependent upon the ability of the water to raise the plants. We could increase production by adding plant organic matter produced elsewhere.
3. The ability of water to produce plants is dependent upon sunshine, temperature, CO2, Mineral from soil or rocks, nitrogen (NO3- and NH4-) , O2 and water.
4. The Natural fertility of the water is dependent on the fertility of the soil in pond bottom and watershed.

5. Fertlity of water can be increased by adding inorganic fertilizers.
6. After adding all essential minerals and all available nitrogen, the next limiting factor is CO2. This compound can be increased by adding organic matter followed by liming (Ca, Mg).
7. The next limiting factor in fish production, after mineral and CO2 are provided, is oxygen demand of all living and dead organisms in the water. This can be supplied by running water rich in oxygen or pumping water from the bottom and aerate it. If oxygen in the water falls below 1.0 ppm, fish die. One ppm oxygen is enough for fish in resting condition, but for active fish, 3.0 ppm is needed.

8. Microscopic plants (planktonic algae) are the principal food producing plants for fishes.
9. Microscopic plants are the most desirable, because : (a) short life cycle, (b) mobility, (c) more nutritious, and (d) small size.
10. Rooted plants are less desirable, because: (a) long life, (b) immobility, (c) less nutritious, (d) large size, and (e) shading effect.
11. a. The more fertile the water the heavier the plankton concetration becomes, the more shallow becomes light penetration and photosynthesis. b. Heavy plankton concetration in top water causes shallow stratification and low oxygen or none in deeper water. Strong wind, or heavy cold rain causes overtum, causing trouble to the fish. Water with no oxygen spread too fast and could kill the fish. Heavy plankton can be killed by the use of CuSO4. Light can penetrate deeper, so does the production of oxygen. c. the deeper the fertile lake or pond (heavy plankton) the higher the precentage of the total volume of water deficient of oxygen during period of stratification.

12. Rooted plants are desitable, in part, in waters of low fertility, because : (1) Oxygenate deep water as far down and light penetrates, (2) draw nutrients from pond bottom soil, (3) prevent marginal erosion, (4) provide surface for food organisms, and (5) provide food for fish derectly or indirectly.
13. The longer the food chain from plant to fish the lower the production of fish obtained. The conversion rate from: Plant to fish = 5 – 10 Plant to insect = 5 – 10 Insect to fish = 3 – 10 fish to fish = 2 – 5
14. At a given level of fertility the fish production is constant for a particular species and a certain rate of stocking. The total pound/acre is dependent upon the number of fish present and the size harvested. Small fish produce high number of lbs/acre, and large ones produce small number of lbs/acre.
15. For short period of time we can regulate number ( and final size) by the number stocked. This can be done by frequent draining before the fish are old enough to spawn. For non spawner there would be no difficulity. Mortality rate can be up to 20 percent a year.
16. For long period of time the number of fish and sizes must be controlled by biological methods such as: 1. Repression - prevents reproduction, e.g. carp. 2. Predation - method of controlling the number of young fish. 3. Starvation - this could lead to weakning of fish, thus vulnerable to disease and parasites. 4. Limited spawing area


17. The greatest total weight to any one forage species (for short periode of time for piscivorous fish) can be produced in waters containing only that species.
18. The greatest total weight of fish can be produced by combination of forage fish differing in feeding habits.
19. The presence of piscivorous species decreases the total weight or fish, decreases the number of fish, but increases the average size.
20. The rate of feeding required to maintain a fish is less than the rate required for growth.
21. The amount of food required to maintain one-pound fish for one year is equal to the feed required to raise the fish to one pound.
22. A population of fish at a given level of food abundance will tend to expand until harvestable food equals the amount required for maintenance.
23. Feeding at maintenance is uneconomical for extended periods. Feeding to satiety is uneconomical too. Econimical feeding rate varies with the size of fish.
24. Economical feeding rate per acre is limited by the eficiency of the ecological system in waste disposal and reoxygenation.
25. High quality feeds must contain in proper proportion; protein for building fish flesh carbohydrate and fat for energy, minerals for contruction and regulation, and vitamins for regulation of life processes.
26. Quality of feed influences (a) the amount of waste, (b) health of fish, and (c) rate of growth.
27. By increasing feeding rate the stocking rate of fish can be increased. This could increase the incidence of parasites and diseases.
28. Within limits regulation of feeding rates can replace predation in obtaining a high percentage of harvestable fish.
29. Rates of growth of fish vary widely and are dependent upon : (a) their ability to grow, (b) the quality of feed, (c) space – waste disposal system, (d) temperature, (e) the amount of feed per individual.
30. Minimum age at spawning is dependent upon rate of growth.

H.S. SWINGLE Auburn University




parasit "Ichtyophtirius multifilis" pada ikan gurami

Parasit adalah mahluk hidup (organisme) yang menempel pada bagian luar tubuh ikan ikan (ektoprasit), maupun pada bagian dalam tubuh ikan (endoparasit), dimana organisme tersebut membuat sakit atau bahkan dapat mematikan ikan yang ditumpanginya (inang), karena organisme tersebut mengganggu fungsi atau merusak organ tubuh yang terinfeksi dan menghisap zat-zat makanan ataupun darah dari ikan tersebut (Anonymous, 1992).
Sitanggang (1987) mengemukakan gangguan penyakit parasit pada ikan gurami dapat dikenali sebagai berikut :
- Penyakit pada kulit. Pada bagian tertentu berwarna merah, terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Warna ikan menjadi pucat dan tubuhnya berlendir.
- Penyakit pada insang. Tutup insang mengembang. Lembar insang menjadi pucat, kadang-kadang semburat merah kelabu.
- Penyakit pada organ dalam. Perut ikan membengkak, sisik berdiri kadang-kadang sebaliknya, perut menjadi amat kurus, ikan menjadi lemah dan mudah ditangkap.
Parasit yang menempel pada sisik atau sirip dapat membuat lubang kecil yang akhirnya menimbulkan infeksi oleh bakteri atau virus. Pada tahap berikutnya infeksi ini dapat menyebabkan patah sirip atau terjadinya ulcer (borok).
Serangan patogen biasanya terjadi ketika ikan stres karena kualitas air kurang baik, perubahan suhu, dan overcrowding, trauma, transportasi/pengangkutan, kekurangan nutrisi, serangan parasit yang mengakibatkan infeksi primer sebagai efek resistensi (Nicholas, 1984).

Ichtyophtirius multifilis merupakan salah satu jenis protozoa yang sering menimbulkan penyakit pada ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi. Protozoa ini mempunyai ukuran kecil, sehingga tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Pada tubuh ikan yang terserang protozoa ini akan terbentuk bintik-bintik putih berdiameter 0,5-1 mm sehingga penyakit ini sering disebut white spot. Bintik putih ini sebenarnya merupakan koloni dari puluhan hingga ratusan Ichtyophtirius multifilis
Ichtyophtirius multifilis merusak sel-sel lendir ikan, dan dapat menyebabkan pendarahan. Sesudah 8 hari hidup pada ikan, parasit ini sudah cukup dewasa untuk melangsungkan perkembangbiakannya. Parasit ini melepaskan diri dari tubuh ikan, dan melayang-layang dalam air untuk beberapa saat lamanya. Kemudian melekatkan diri pada suatu benda, seperti tumbuh-tumbuhan membentuk suatu lapisan kulit yang terlihat sebagai lendir. Bentuk demikian disebut cyste. Parasit ini dalam cyste membelah diri dalam waktu 5 jam (tergantung suhu), terbentuklah beribu-ribu Ichtyophtirius multifilis kecil. Apabila dalam waktu 48 jm tidak menemukan ikan-ikan yang ditempelinya, maka anak-anak parasit ini akan mati, anak-anak parasit ini menempel pada selaput lendir ikan (Anonymous, 1990/1991).
Menutrut Butcher (1934) dalam Anonymous (1990/1991), siklus hidup Ichtyophtirius multifilis (Gambar 3) dapat dibagi menjadi empat fase:
a. fase parasiter : Ketika hidup di ikan
b. Fase pre-cyste : Setelah dewasa dan melepaskan diri dari tubuh ikan, tetapi belum membentuk cyste.
c. Fase cyste : Selama terjadi proses membelah diri, terbungkus dinding lendir, dan melekat pada suatu benda dalam air.
d. Fase post-cyste : Berupa benih-benih parasit yang baru keluar dari cyste.

Budi Daya Rumput Laut Sangat Prospektif

Budi Daya Rumput Laut Sangat ProspektifPanjang garis pantai Indonesia yang mencapai 95.181 kilometer atau keempat terpanjang di dunia merupakan anugerah tak terkira bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, kondisi tersebut berkaitan erat dengan potensi sumber daya alam yang terkandung di dalam perairan Nusantara.Potensi tersebut sangat beragam, mulai dari aneka jenis ikan, tumbuhan laut, obat-obatan, terumbu karang, hingga wisata bahari. Menurut Direktur lenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ketut Sugama, dari seluruh potensi yang ada itu, budi daya ikan merupakan ladang bisnis yang sangat prospektif. Pengembangan bidang budi daya ikan diyakini dapat men-dongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. "Budi daya ikan waktunya relatif cepat. Lihat saja, ikan dengan ukuran 1 kilogram saja sudah dapat dijual," ujai Ketut, di lakarta, Sela- sa (27/9).Selain budi daya ikan, potensi yang ada di sektor kelautan dan perikanan adalah budi daya rumput laut. Kemudahan dalam melakukan budi daya komoditas yang satu itu menjadikan banyak nelayan tertarik menggelutinya. Ketut mengatakan hanya dengan modal 3,5 juta rupiah dan lahan 50 x 50 meter, para nelayan telah dapat membudidayakan rumput laut. "Dalam waktu 45 hari, para nelayan sudah dapat menikmati masa panen," tambahnya.Prospektifnya bisnis rumput laut diungkapkan pula SoenanHadi Poernomo, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan lakarta. Menurut dia, agar potensi bisnis rumput laut bisa dikembangkan secara optimal, sebaiknya Indonesia tidak mengekspor rumput laut sebagai bahan mentah. "Usahakan agar pengolahan rumput laut bisa dilakukan di dalam negeri sehingga nilainya lebih tinggi ka-i im iii dijual sebagai barang jadi," kata Soenan.Soenan menambahkan rumput laut juga berpotensi dijadikan bahan bakar alternatif (bio-fuel) pengganti bahan bakar minyak yang berasal fosil. "Tinggal diusahakan secara komersial karena sekarang ini rumput laut sudah banyak dilirik sebagai bahan biofuel. Salah satu ne-gara yang telah memanfaatkannya adalah Korea Selatan," imbuh Soenan.Khusus di Indonesia, hasil budi daya rumput laut selama ini lebih banyak diekspor ke China. Negeri Tirai Bambu itu lantas mengolah rumput laut asal Indonesia tersebut menjadi aneka produk, mulai dari kosmetika, bahan makanan, obat, cat tembok, cat untuk membatik, sampai pasta gigi.Dalam pandangan Soenan, apa yang dilakukan China tersebut bukan mustahil dapat pula dilakukan Indonesia Sebagai langkah awal, hendaknya dipilih bibit rumput laut dari hasil pem-benihan yang terbaik. Salah satu daerah di Tanah Air yang memiliki bibit rumput laut yang bagus adalah Nusa Tenggara Barat (NTB).Setelah memilih bibit rumput laut terbaik, langkah yang perlu ditempuh adalah membuat mekanisme pasar yang tidak rumit. Artinya, lokasi produksi dan pengolahan rumput laut sebaiknya tidak terlalu jauh dari pasar sehingga biaya transportasi bisa ditekan. Saat ini wilayah percontohan budi daya rumput laut kebanyakan berada di kawasan timur Indonesia, di antaranya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan NTB."Saya sangat optimistis budi daya rumput laut memiliki masa depan yang bagus. Sebab, potensi bisnisnya besar. Selain itu, teknologi yang ada sekarang juga sudah mumpuni, pasarnya tersedia serta ramah lingkungan," pungkas Soenan. uci/E-2Sumber: KoranJakarta,29September2011, Hal.9