Budidaya Tiram Mabe

Tiram Mabe

Pteria pinguin merupakan salah satu jenis tiram mabe yang dibudidayakan sebagai penghasil mutiara sebelah (half pearl). Jenis tiram ini terdapat di perairan Indo-Pasifik termasuk Indonesia. Tiram mabe merupakan pemakan plankton dengan cara penyaringan (filter feeder). Oleh karena itu, lokasi tempat budi dayanya harus cukup subur.



Hasil analisa isi perut tiram mabe menunjukkan bahwa hewan air tersebut pemakan plankton, khususnya ganggang kersik, seperti Nitzschia spp., Chaetoceros, Thalassiotrix, dan Coscinodiscus spp.

Budi daya tiram mabe yang dimaksud dalam tulisan ini terutama dalam proses pengumpulan benih sampai mencapai ukuran siap untuk operasi penyuntikan inti yang berukuran lebar cangkang 7-9 cm. Pengumpulan benih ini sudah biasa dilakukan masyarakat, yang hasilnya akan dijual ke pengusaha budi daya tiram mutiara untuk selanjutnya dilakukan penyuntikan inti, pembesaran dan panen biji mutiara.


A. Sistematika

Famili : Pteridae
Spesies : Pteria pinguin
Nama dagang : wing's oyster
Nama lokal : tiram kupu-kupu


B. Ciri-ciri dan aspek biologi

1. Ciri fisik
Cangkang berbentuk bujur telur yang agak miring. Telinga sebelah belakang berkembang menyerupai sayap. Engsel cangkangnya memiliki 1-2 gigi (tonjolan) kecil. Sudut engsel
menonjol dan tampak jelas. Permukaan bagian luar cangkang kasar bersisik. Lebar cangkang lebih dari tingginya. Cangkangnya berwarna hitam. Bagian nonnacrea pada cangkang sebelah dalam relatif besar.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Laju pertumbuhan tiram mabe banyak dipengaruhi oleh kecepatan arus. Kecepatan arus yang optimal untuk pertumbuhan tiram mabe berada pada kisaran 20-40 cm/detik. Pada kondisi lingkungan dengan kecepatan arus di atas 20 cm/detik, laju pertumbuhnya dapat mencapai 15 mm/bulan atau 20 g/bulan.

C. Pemiliban Lokasi Budi Daya
Tiram mabe hidup di perairan laut berkadar garam tinggi 32— 35 ppt, suhu 20-25 derajat celsius Kecerahan tinggi (> 5 m), dasar perairan berupa lapisan karang mati, kondisi perairan subur, dan berarus sedang.


D. Wadah Budi Daya
pengumpulan tiram mabe menggunakan jaring sebagai spat collector untuk penempelan larva tiram mabe dan dipasang pada perairan teluk, kemudian dipanen pada bulan ke 10 setelah pemasangan spat collector.

Kolektor terbuat dari jaring nilon dengan ukuran mata jaring 4-6 inci dan tali ris nilon ukuran 4 atau 5 mm. Luas jaring 7 m x 1,5 m yang dipasang pada frame kayu, kemudian digantung di rakit pada kedalaman 15-25 m dan menggunakan pemberat dari batu.


Pembesaran tiram mabe yang telah disuntik inti menggunakan keranjang yang digantung pada sebuah rakit. Rakit yang berukuran 4 m x 4 m dilengkapi dengan pelampung dan jangkar. Keranjang yang berfungsi sebagai wadah pemeliharaan berbentuk empat persegi panjang yang rangkanya terbuat dari besi begel dan kantongnya dari bahan jaring. Ukuran keranjang cukup 0,4 m x 0,6 m. Untuk setiap rakit, dapat dipasang 25 buah keranjang.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Benih yang diperlukan untuk budi daya tiram ini masih diperoleh dari pengumpulan di alam dengan menggunakan spat collector. Cara lainnya adalah mengumpulan tiram muda atau yang berukuran lebih besar yang hidup menempel secara alami pada berbagai substrat yang ada di dalam air. Dewasa ini benih hasil hatchery belum tersedia.


2. Penebaran benih
Pada kegiatan ini lebih banyak ditekankan pada proses pengumpulan benih menggunakan spat kolektor. Adapun penebaran benih dilakukan setelah penyuntikan inti. Keranjang/ jaring untuk pemeliharaan tiram mabe berukuran o,4 m x o,6 m yang berisi 6 ekor tiram. Untuk setiap rakit, dapat dipasang 25 buah keranjang/jaring.


3. Pembesaran
Pembesaran jenis tiram ini dilakukan di laut dengan menggunakan keranjang yang digantung pada sebuah rakit yang terbuat dari bambu atau kayu. Caranya adalah benih yang sudah cukup ukurannya (4-6 cm) ditempatkan dalam keranjang setelah dibersihkan dan dipelihara selama 6 bulan.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama pada tiram mabe adalah organisme pembusuk, pengebor cangkang, dan predator. Hama organisme pembusuk dapat diberantas/dicegah dengan cara pembersilian cangkang tiram secara rutin, yaitu perendaman dalam air tawar selama beberapa jam.

G. Panen
Panen tiram mabe dapat dilakukan setelah kolektor jaring dipasang (terendam) selama 8— 10 bulan. Panen dengan cara pengambilan tiram yang menempel pada jaring. Tiram mabe yang sudah cukup ukuran operasi, yaitu sekitar 7-9 cm langsung dijual kepada pengusaha mutiara. Namun, tiram yang ukurannya < 7 cm masih perlu dipelihara lagi pada raki budi daya sampai ukuran 7-9 cm.
sumber :Penebar Swadaya,2008

Budidaya Tiram Mabe

Tiram Mabe

Pteria pinguin merupakan salah satu jenis tiram mabe yang dibudidayakan sebagai penghasil mutiara sebelah (half pearl). Jenis tiram ini terdapat di perairan Indo-Pasifik termasuk Indonesia. Tiram mabe merupakan pemakan plankton dengan cara penyaringan (filter feeder). Oleh karena itu, lokasi tempat budi dayanya harus cukup subur.



Hasil analisa isi perut tiram mabe menunjukkan bahwa hewan air tersebut pemakan plankton, khususnya ganggang kersik, seperti Nitzschia spp., Chaetoceros, Thalassiotrix, dan Coscinodiscus spp.

Budi daya tiram mabe yang dimaksud dalam tulisan ini terutama dalam proses pengumpulan benih sampai mencapai ukuran siap untuk operasi penyuntikan inti yang berukuran lebar cangkang 7-9 cm. Pengumpulan benih ini sudah biasa dilakukan masyarakat, yang hasilnya akan dijual ke pengusaha budi daya tiram mutiara untuk selanjutnya dilakukan penyuntikan inti, pembesaran dan panen biji mutiara.


A. Sistematika

Famili : Pteridae
Spesies : Pteria pinguin
Nama dagang : wing's oyster
Nama lokal : tiram kupu-kupu


B. Ciri-ciri dan aspek biologi

1. Ciri fisik
Cangkang berbentuk bujur telur yang agak miring. Telinga sebelah belakang berkembang menyerupai sayap. Engsel cangkangnya memiliki 1-2 gigi (tonjolan) kecil. Sudut engsel
menonjol dan tampak jelas. Permukaan bagian luar cangkang kasar bersisik. Lebar cangkang lebih dari tingginya. Cangkangnya berwarna hitam. Bagian nonnacrea pada cangkang sebelah dalam relatif besar.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Laju pertumbuhan tiram mabe banyak dipengaruhi oleh kecepatan arus. Kecepatan arus yang optimal untuk pertumbuhan tiram mabe berada pada kisaran 20-40 cm/detik. Pada kondisi lingkungan dengan kecepatan arus di atas 20 cm/detik, laju pertumbuhnya dapat mencapai 15 mm/bulan atau 20 g/bulan.

C. Pemiliban Lokasi Budi Daya
Tiram mabe hidup di perairan laut berkadar garam tinggi 32— 35 ppt, suhu 20-25 derajat celsius Kecerahan tinggi (> 5 m), dasar perairan berupa lapisan karang mati, kondisi perairan subur, dan berarus sedang.


D. Wadah Budi Daya
pengumpulan tiram mabe menggunakan jaring sebagai spat collector untuk penempelan larva tiram mabe dan dipasang pada perairan teluk, kemudian dipanen pada bulan ke 10 setelah pemasangan spat collector.

Kolektor terbuat dari jaring nilon dengan ukuran mata jaring 4-6 inci dan tali ris nilon ukuran 4 atau 5 mm. Luas jaring 7 m x 1,5 m yang dipasang pada frame kayu, kemudian digantung di rakit pada kedalaman 15-25 m dan menggunakan pemberat dari batu.


Pembesaran tiram mabe yang telah disuntik inti menggunakan keranjang yang digantung pada sebuah rakit. Rakit yang berukuran 4 m x 4 m dilengkapi dengan pelampung dan jangkar. Keranjang yang berfungsi sebagai wadah pemeliharaan berbentuk empat persegi panjang yang rangkanya terbuat dari besi begel dan kantongnya dari bahan jaring. Ukuran keranjang cukup 0,4 m x 0,6 m. Untuk setiap rakit, dapat dipasang 25 buah keranjang.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Benih yang diperlukan untuk budi daya tiram ini masih diperoleh dari pengumpulan di alam dengan menggunakan spat collector. Cara lainnya adalah mengumpulan tiram muda atau yang berukuran lebih besar yang hidup menempel secara alami pada berbagai substrat yang ada di dalam air. Dewasa ini benih hasil hatchery belum tersedia.


2. Penebaran benih
Pada kegiatan ini lebih banyak ditekankan pada proses pengumpulan benih menggunakan spat kolektor. Adapun penebaran benih dilakukan setelah penyuntikan inti. Keranjang/ jaring untuk pemeliharaan tiram mabe berukuran o,4 m x o,6 m yang berisi 6 ekor tiram. Untuk setiap rakit, dapat dipasang 25 buah keranjang/jaring.


3. Pembesaran
Pembesaran jenis tiram ini dilakukan di laut dengan menggunakan keranjang yang digantung pada sebuah rakit yang terbuat dari bambu atau kayu. Caranya adalah benih yang sudah cukup ukurannya (4-6 cm) ditempatkan dalam keranjang setelah dibersihkan dan dipelihara selama 6 bulan.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama pada tiram mabe adalah organisme pembusuk, pengebor cangkang, dan predator. Hama organisme pembusuk dapat diberantas/dicegah dengan cara pembersilian cangkang tiram secara rutin, yaitu perendaman dalam air tawar selama beberapa jam.

G. Panen
Panen tiram mabe dapat dilakukan setelah kolektor jaring dipasang (terendam) selama 8— 10 bulan. Panen dengan cara pengambilan tiram yang menempel pada jaring. Tiram mabe yang sudah cukup ukuran operasi, yaitu sekitar 7-9 cm langsung dijual kepada pengusaha mutiara. Namun, tiram yang ukurannya < 7 cm masih perlu dipelihara lagi pada raki budi daya sampai ukuran 7-9 cm.
sumber :Penebar Swadaya,2008


Budidaya Tiram Mutiara


Tiram Mutiara

Hingga sekarang mutiara hasil budi daya dunia dapat berupa mutiara laut dan mutiara air tawar. Produk mutiara laut yang dewasa ini diperdagangkan di pasar internasional adalah sebagai berikut.



1. Akoya pearl
Mutiara berkualitas tinggi yang dihasilkan dari P. fucata. Ukuran maksimal 10 mm. Mutiara berwarna putih kehijauan dengan nuansa sangat indah. Jenis ini diproduksi di Jepang dan Cina.


2. South sea pearl
Mutiara ini diproduksi di Indonesia dan Australia yang dihasilkan dari P. maxima. Termasuk mutiara kelompok putih, berukuran besar sampai 18 mm. Jenis ini berwarna putih perak, kekuning-kuningan, pink, dan keemasan.

3. Black pearl
Mutiara ini dihasilkan dari P. margaritifera. Black pearl berpenampilan sangat menawan dan berwarna hitam pekat. Jenis ini berukuran lebih kecil dari ukuran south sea pearl. Negara penghasil utama: Tahiti, Hawaii, dan Cook Island.


A. Sistematika
Famili : Pteridae
Spesies : Pinctada maxima
P. margaritifera
Nama dagang: pearl oyster

Nama lokal mutiara


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Kerang mutiara mempunyai sepasang cangkang yang disatukan pada bagian punggung dengan engsel. Kedua belahan cangkang
tidak sama bentuknya. cangkang yang satu lebih cembung dibanding lainnya. Sisi sebelah dalam dari cangkang (nacre) berpenampilan mengilap.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Tiram mutiara adalah protandrous-hermaphrodite dengan kecenderungan perbandingan jantan : betina = 1 : 1, dengan adanya peningkatan umur. Pemijahan sering terjadi akibat perubahan suhu yang ekstrem atau tejadi perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Pemijahan tiram mutiara di perairan tropis tidak terbatas hanya satu musim, tapi bisa sepanjang tahun. P. Margaritifera mendekati matang gonad pada tahun kedua, sedangkan P. maxima jantan matang gonad setelah berukuran cangkang 110-120 mm dalam tahun pertama hidupnya.
pertumbuhan merupakan aspek biologi yang penting bagi pembudidaya terkait dengan pendugaan keberhasilan usahanya.Tiram mutiara P.margaritifera mencapai ukuran diameter cangkang 7-8 cm dalam tahun pertama, dan mendekati ukuran sekitar 11 cm pada tahun kedua. Pertumbuhan jenis lain, P. maxima, mencapai diameter cangkang 10—16 cm pada tahun kedua.


C. Pengelolaan Budi Daya
Untuk menghasilkan sebutir mutiara laut dari spat hatchery, diperlukan waktu sekitar 4 tahun. Teknologi budi daya mutiara laut terdiri atas pembenihan, pembesaran benih, produksi mutiara, dan panen.

1. Penyediaan benih
Awal pengembangan benih yang digunakan berasal dari penangkapan dari alam. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan spat collector yang terbuat dari jaring nilon bermata jala halos. Kolektor tersebut dibentangkan di daerah penyebaran kerang mutiara. Dalam waktu 2-4 minggu, benih tiram (spat) akan menempel pada kolektor tersebut.


Dewasa ini, dengan kemajuan ilmu dan teknologi spat tiram mutiara sudah dapat dihasilkan melalui proses perbenihan di hatchery. Prosesnya dimulai dengan pemilihan induk yang sudah matang gonad. Sebaiknya induk-induk tersebut berasal dari populasi yang berbeda untuk menghasilkan benih yang berkualitas.

2) Pembesaran
Di nurseri benih dipelihara sampai mencapai dewasa dan berukuran 10-12 cm selama 12-18 bulan. pada ukuran tersebut proses produksi mutiara sudah dapat dilaksanakan. Adapun tahapan produksi mutiara sebagai berikut.

a) Memilah-milah tiram dewasa untuk disuntik. pemilihan didasarkan atas ukuran, umur, dan kondisi kesehatan tiram.

b) Menyiapkan potongan mantel berukuran sekitar 4-5 mm2 dan inti berukuran 3,03-9,09 mm. potongan mantel (shaibo) tersebut diambil dari tiram yang secara sengaja disiapkan/ dikorbankan untuk keperluan itu.


c) Preconditioning (Melemahkan) tiram untuk memudahkan pembukaan cangkang sewaktu penyuntikan inti da trasplantasi potongan mantel atau shaibo.


d) Menoreh irisan pada pangkal kaki menuju dekat gonad. Ke dalam torehan tersebut disisipkan inti dan shaibo yang diletakkan bersinggungan.

e) Mengangkat ganjal baji dan menutup cangkang, lalu meletakkan
tiram ke dalam keranjang. Keranjang tersebut terbuat dari
jaring berbentuk empat persegi panjang. Untuk tiap keranjang,
diletakkan 10 ekor tiram.


f) Merawat tiram dengan cara membersihkan keranjang dan cangkang luar, membalikkan tiram, dan memeriksa apakah mutiara sudah terbentuk atau belum dengan menggunakan sinar x-ray. Perawatan ini dilakukan setiap 4 hari selama 2 bulan, kecuali pemeriksaan dengan sinar x-ray.


g) Memindahkan tiram ke dalam wadah pemeliharaan berbentuk keranjang berkantong terbuat dari jaring. Dalam tiap lempeng terdapat 4 buah kantong. Setiap kantong diisi seekor tiram. Wadah tersebut digantung pada bentangan tambang atau longline. Tiram dan kantong dibersihkan setiap bulan.


D. Pengendalian Hama. dan Penyakit
Hama umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, racing, dan polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator, seperti gurita dan ikan sidat. Upaya pencegahan dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu.

Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus. parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan Achromobacter sp.

Sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk mengurangi serangan penyakit pada tiram mutiara antara lain
a) selalu memonitor salinitas agar dalam kisaran yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tiram,

b) menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi, seperti pemeliharaan tiram tidak terlalu dekat kepermukaan air pada musim dingin,

c) lokasi bodi daya dipilih dengan kecerahan yang cukup bagus, dan

d) tidak memilih lokasi pada perairan dengan dasar pasir berlumpur.


G. Panen
Setelah 18-24 bulan masa pemeliharaan, panen mutiara sudah bisa dilakukan. Selanjutnya, hasil panen dibersihkan atau digosok agar mengilap serta memilah mutunya.
sumber : Penebar Swadaya,2008

Budidaya Tiram


Tiram



Crassostrea atau tiram merupakan salah satu jenis dari bivalva yang biasa dikonsumsi masyarakat pantai. Jenis ini hidup di daerah muara yang menempel pada akar-akar bakau, tiang-tiang dermaga, dan berbagai objek batu-batu karang mati di dasar perairan. Negara yang telah membudidayakan secara intensif tiram jenis ini adalah Filipina.


A. Sistematika
Famili : Ostreidea
Species : Crassostrea iredalei
Nama dagang : Oysters


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

i. Ciri fisik
Tiram merupakan hewan air berumah dua (diosis). cangkang atas lebih kecil dibanding cangkang bawah. Tepi cangkang tidak berbentuk crenul (not crenelated). Crassostrea tidak memiliki chomata (denticles). Bentuk cangkang Crassostrea agak memanjang dan cekung.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Pengertian pertumbuhan untuk kekerangan meliputi pertumbuhan daging dan panjang cangkang yang lajunya tidak selalu seiring. Hal ini disebabkan faktor yang berpengaruhnya. berbeda. Pertumbuhan daging dipengaruhi oleh faktor ketersediaan makanan, kematangan gonad, dan perubahan yang terjadi akibat pelepasan gonad. Sementara itu, pertumbuhan cangkang dipengaruhi oleh kadar kalsium dalam air.

Hewan ini bersifat ovovivipar dalam ha modus pemijahannya. Perkembangan gonad dan pemijahan di daerah tropic berlangsung sepanjang tahun. Telur yang telah dibuahi akan berkembang. Setelah 20 jam, telur akan menetas menjadi larva (trocophore) yang bersifat planktonik. Larva berenang dalam air dengan bantuan rambut getarnya (cilia).

Sekitar 10 jam kemudian trocophore akan beruba bentuk menjadi larva berbentuk huruf D (disebut larva D). Selanjutnya, larva D akan berkembang menjadi larva lain yang disebut umbo. Akhirnya, umbo berubah menjadi spat dan mencari tempat menempel.



Tiram merupakan jenis hewan air yang tergolong pemakan plankton, baik nabati maupun hewani. Di perairan alami jenis

plankton yang dimakannya utamanya dari jenis-jenis diatoms, seperti Nitzschia, Chaetoceros, Diatoma, Pleurozigma, dan Gyrozigma. Jenis plankton lainnya adalah Calanus dan Naupli dari Cyclops. Di alam, jenis pelecypoda memakan bahan organik tersuspensi, zat organik terlarut, Fitoplankton, bakteri, jamur, dan flagellate.


C. Pemiliban Lokasi Budi Daya
Keberhasilan budi daya tiram sangat tergantung pada ketepatan dalam pemilihan lokasi. Banyaknya tiram alami merupakan indikator kesesuaian lokasi untuk budi daya tiram. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keadaan perairan terpilih harus diketahui secara pasti, khususnya salinitas dan kesuburannya. C. iredalei merupakan jenis tiram yang hidup dan tumbuh baik pada salinitas berkisar 24-30 ppt serta konsentrasi plankton antara 30 x 10 3 dan 250 x 103 sel/cc. Adapun lokasi budi dayanya, yaitu perairan Panimbang, Teluk Banten, dan Sulawesi Selatan.



D. Wadah Budi Daya
jenis wadah tergantung jenis metode yang digunakan dalam budi daya tiram. Metode budi daya menggunakan rak, rakit, metode tali rentang (longline), dan metode dasar. Rak yang digunakan berukuran panjang 5 m dan Lebar 2 m.

Rak dapat terbuat dari kayu atau. bambu. Kerangka kayu yang luasnya 10 m2 tersebut dibagi menjadi kotak-kotak yang lebih kecil berukuran 0,5 m x 1,o m sebanyak 20 kotak. Selanjutnya, batang kayu dipasang setiap 0,5 m searah lebarnya dan setiap 1 m ke arah panjangnya. Untaian kolektor kemudian digantung pada batang kayu yang dipasang memanjang.


Rak dipasang sedemikian rupa hingga pada saat pasang-surut masih terendam air. Setiap gantung untaian kolektor diikat 5-8 buah keping kolektor.

Dengan metode rakit, untaian kolektor atau keranjang yang berisi benih tiram digantung pada rakit, sedangkan dengan metode tali rentang, untaian kolektor digantung pada tali rentang. Untuk
metode dasar, kolektor disebar di dasar perairan hingga benih/spat menempel pada kolektor tersebut.



E. Pengelolaan Budi Daya
1. Pengumpulan benih
Benih tiram bisa diperoleh dari alam maupun dari hatchery. Seat ini di Indonesia, belum adsa Hatchery yang menyediakan benih tirarn, jadi benih harus dikumpulkan dari alam. Pengumpulan benih dari alam dilakukan dengan menggunakan kolektor/substrat, yaitu benda/bahan-bahan yang keras seperti cangkang kekerangan/tiram, lempengan genting, blok semen, atau lembaran asbes. Berbagai kolektor tersebut dapat dipasang/digantung di perairan atau disebar di dasar perairan pasir berlumpur dengan laju pengendapan Lumpur rendah.


2. Pernbesaran
Benih yang menempel pada substrat dapat dibiarkan tumbuh hingga mencapai ukuran panen (konsumsi) atau dikumpulkan untuk dibesarkan di tempat lain. Luas perairan yang digunakan untuk pembesaran bervariasi antara 1.000—1o.000 m2. Namun, luasan yang baik adalah antara 1.000-2.000 m2. Di Filipina luas perairan untuk budi daya tiram rata-rata 1.300 m2/operator. Pada metode dasar, cangkang oyster yang sedan ditumbuhi benih disebar secara merata di seluruh dasar perairan yang dialokasikan. Pada metode lepas dasar, untaian substrat yang telah ditumbuhi benih tiram, digantungkan pada tiang, rak, atau rakit. Jarak antara tiang diatur 8o cm.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama utama pada budi daya tiram adalah kompetitor dalam penggunaan substrat dan makanan. Jenis kompetitor yang paling umum adalah teritip (Balanus sp.). Sementara itu, jenis predator yang sering memangsa jenis tiram ini adalah Gastropods (siput air) dan kepiting. Adapun upaya pencegahan atau mengurangi

penempelan teritip, yaitu dengan memilih lokasi pembesaran yang tepat. Sementara itu, untuk mengurangi pemangsaan oleh predator dengan diambil/dipungut secara manual pada waktu-waktu tertentu.


G. Panen
Panen mulai dilaksanakan setelah tiram mencapai ukuran konsumsi, yaitu sekitar 7,6 cm panjang cangkang. Biasanya ukuran tersebut mulai tercapai setelah 6 bulan sejak benih tiram menempel pada substrat. Namur demildan, tingkat kesuburan perairan sangat menentukan.
sumber : Penebar Swadaya, 2008

Nelayan Tradisional Terancam Perubahan Iklim Global

Nelayan Tradisional Terancam Perubahan Iklim Global

Kapanlagi.com - Perubahan iklim semakin mengancam keberadaan nelayan tradisional, jika pemerintah gagal berdiplomasi dalam konferensi kelautan dunia (World Ocean Conference) yang akan digelar di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009.

"Krisis ekologis yang bermuara pada perubahan iklim hari ini lebih disebabkan oleh derajat eksploitasi berlebih negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat, hingga Australia, tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan kelangsungan hidup umat manusia," kata Sekjen KIARA, M. Riza Damanik, di sela peringatan Hari Bumi 2009 di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Rabu (22/4).

Karena itu, menurut dia, adalah penting bagi pemerintah untuk segera melaksanakan sejumlah agenda diplomasi, yakni mengajak masyarakat dunia memberikan sanksi kolektif kepada aktor penyebab krisis laut dan iklim, serta membangun kesadaran kolektif guna memberikan perlindungan lebih terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional.

"Agenda ini amat penting bagi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia. Saatnya Indonesia mempraktekkan pesan-pesan keadilan ekonomi sebagaimana diasaskan dalam Pasal 33 (3) UUD 1945," katanya.

Riza dalam siaran persnya juga menyesalkan, sekitar 30-50% dari potensi perikanan tangkap nasional diperdagangkan di pasar global secara ilegal setiap tahun. (kpl/bar)

Sumber: http://www.kapanlagi.com

Budidaya Udang Barong


Udang Barong

Lobster laut yang terdapat di Indonesia hanya udang barong. Produksi udang barong berasal dari hasil budi daya pada tahun 2006 mencapai 558 ton.



Udang barong aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, udang ini lebih suka tinggal di dalam lubang. Jenis makanan yang disukainya adalah berbagai jenis kekerangan berukuran kecil dan hewan bentik, seperti jenis Echinodemata. Udang ini juga memakan pakan berupa daging ikan.


A. Sistematika
Famili : Panuliruidae
Species : punulirus spp.
Nama dagang : spiny lobster
Nama lokal : udang karang


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Tubuh udang barong diselimuti cangkang keras berduri. Udang ini mempunyai sepasang sungut panjang (antenna) dan sepasang sungut pendek (antennula). Selain itu, udang memiliki empat pasang kaki renang (pIeopod) dan lima pasang kaki jalan (pereipod). Bagian ekornya terdiri dari telson (duri ekor) dan uropod (sirip ekor).

Warna tubuhnya bervariasi menurut spesiesnya.
Di perairan laut Selatan Jawa dan nusa Tenggara terdapat 6 spesies udang barong, yaitu

Panulirus penicillatus (Olivier), P. homarus, P. longipes, P.Ornatus, P. versicolor dan P. polyphagus.

Ciri-ciri dari masing-masing spesies adalah sebagai
berikut.
a) P. penicillatus berwarna hijau tua/gelap dengan sapuan warna cokelat melintang tubuhnya.

b) P. homarus. Bagian punggungnya berwarna kebiru-biruan atau cokelat kemerah-merahan dan berbintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning.terdapat garis kuning melingkar di tiap bagian segmen.

c) P. longipes. Warna dasar tubuh merah kecokelatan terang sampai gelap atau kemerahan. Selain itu, terdapat bintik-bintik putih yang menyebar di seluruh tubuhnya. Adapun bagian kakinya terdapat garis cokelat atau kuning.

d) P. ornatus. Tubuhnya berwarna hijau belang kuning di bagian pinggir tiap sekat/buku.

e) P. versicolor. Tubuh atau punggungnya berwarna hijau terang dengan sapuan warna merah. Pada tiap ujung segmen terdapat guratan berbentuk pita hitam dengan garis putih di bagian tengahnya. Antena berwarna cokelat. Bagian kakinya keputih-putihan. Sementara itu, bagian kepalanya kehitaman dengan bercak putih.

f) P. poIyphagus. Tubuhnya berwarna dasar cokelat. Setiap ujung ruas tubuhnya terdapat guratan berbentuk pita berwarna putih dan cokelat gelap.


2. Pertumbuhan dan perkembangan

Udang barong betina sudah matang telur pada ukuran panjang total 16 cm. Sementara itu, udang jantan yang telah matang gonad berukuran lebih panjang, yaitu sekitar 20 cm. Seekor udang barong betina dapat menghasilkan 275.000 butir telur pada setiap musim pemijahan. Adapun laju pertumbuhan tercatat 0,236 g/hari.

C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
Udang barong, hidup di perairan laut, mulai dari daerah perairan pantai sampai lepas pantai. Penempatan KJA diusahakan pada perairan yang terlindung dari ombak besar dan angin kencang, seperti teluk, selat sempit, dan lagoon, dengan pertukaran massa
air cukup bagus dan salinitas > 25 ppt. Sementara ini, benih
udang barong masih diperoleh dari hasil tangkapan di laut. Oleh karena itu, lokasi budi daya diusahakan tidak jauh dari daerah penangkapan.


D. Wadah Budi Daya
Ada dua model pemeliharaan udang barong, yaitu KJA bersekat (sistem baterai) dan tanpa sekat. KJA yang digunakan berukuran 2 M X 2 M X 2 M. Dalam KJA bersekat, udang barong ditempatkan dalam kamar dengan kepadatan 1 ekor/kamar. Sementara itu, dalam KJA tanpa sekat, udang dipelihara secara. massal.



F. Pengelolaan Budi Daya
Yang sudah mulai dilaksanakan masyarakat pesisir di daerah Lombok (NTB) adalah berupa penampungan atau penggemukan sebelum dipasarkan atau pembesaran udang barong dengan benih dari hasil penangkapan.

Ukuran individu lobster pada saat tebar berkisar 20-50 g dengan padat tebar, yaitu 50 ekor/KJA. Selama masa percobaan 6 bulan, udang diberi pakan berupa cincangan ikan rucah segar seberat 2-5% bobot total/hari dengan frekuensi pemberian satu kali/hari.

Angka sintasan (survival rate) udang barong yang dipelihara dengan sistem baterei mencapai 100%. Udang tersebut ternyata terhindar dari mortalitas karena kanibalisme pada saat ganti kulit. Sementara itu, udang yang dipelihara secara massal menunjukkan tingkat kematian antara 4,3-7,5%.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Mortalitas yang sering terjadi dalam penampungan disebabkan sifat udang ini yang menjadi kanibal jika terjadi penggantian kulit. Oleh karena itu, budi daya pembesaran udang barong dilakukan poenyekatan ruangan berbentuk kamar-kamar.


G. Panen
Udang barong yang dipelihara dari ukuran 20-40 g dalam KJA dapat dipanen setelah mencapai ukuran 150-200 g dalam waktu 4-6 bulan. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat karamba. Selanjutnya, udang barong dipindahkan satu persatu dari tempat pemeliharaannya ke dalam boks styrofoam. Pengangkutan udang antardaerah maupun ekspor dilakukan dalam keadaan hidup. Selain itu, suhu-diusahakan rendah sekitar 200 C dengan kondisi
tanpa air, tetapi lembap.
sumber : Penebar Swadaya 2008

Budidaya Udang windu merupakan udang asli Indonesia


Udang Windu

Udang windu merupakan udang asli Indonesia
.

Udang ini telah dibudidayakan sejak akhir tahun 70-an. Masalah utama yang dihadapi budi daya udang windu dewasa ini adalah serangan penyakit yang hingga, kini masih sukar diatasi dan pencemaran lingkungan. Yang dimaksud budi daya udang windu di laut dalam tulisan ini adalah dalam bentuk pentokolan benur sebelum di tebar di tambak. Salah satu tujuan pentokolan di laut adalah untuk mengurangi mortalitas akibat serangan penyakit pada tahap awal budi daya.




A. Sistematika

Famili : Penaeidae
Spesies : Penaeus monodon
Nama dagang : tiger shrimp
nama lokal : doang



B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Ujung depan rostrum lengkung mengarah ke atas dengan gigi atas rostrum 7-8 buah dan gigi bawahnya 3buah. Terdapat sebuah duri pada buku kedua pasangan pertama dan kedua dari kaki jalannya. Buku ketiga pasangan kaki jalan pertama dilengkapi pula dengan sebuah duri.
Badannya berwarna kecokelatan dengan bercak-bercak biru dan berbelang-belang.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Udang windu mulai dewasa pada umur 18 bulan. Udang yang telah matang telur dapat dilihat dari gonadnya yang berwarna hijau di bagian punggungnya, dari mulai bagian kepala hingga pangkal ekor. Udang jantan dapat dengan mudah dibedakan dari betinanya dengan pengamatan alat kelaminnya. Udang jantan memiliki petasma yang terletak pada pasangan kaki renang pertama. Sementara itu, betina memiliki thellycum yang terletak di antara pasangan kaki jalan ke 5.

Pada saat memijah, udang jantan akan memasukkan sperma ke dalam thellycum dengan bantuan petasma-nya segera setelah udang betina berganti kulit. Udang windu memiliki daur hidup dimulai dari telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi larva pertama yang disebut nauplius (N).


Nauplius terdiri dari 6 substadia, yaitu nauplius I—VI. Larva tersebut kemudian akan bermetamorfosa menjadi zoea (Z) yang terdiri dari 3 substadia, yaitu Z I—Z III. substadia berikutnya adalah mysis (M) 1-111 vane, pada saatnya akan bermetamorfosa menjadi post larvae (PL). Udang windu mulai ukuran PL 8 sudah banyak yang dijual ke petambak sebagai benur. Pentokolan benur windu dari PL-12 dilakukan selama dua minggu sampai satu bulan. Stadia berikutnya adalah juwana dan dewasa.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
Udang laut yang memiliki toleransi tinggi terhadap faktor lingkungan adalah udang windu. Udang ini dapat hidup dan tumbuh dengan cepat pada salinitas air tawar hingga 35 ppt. Namun demikian, salinitas optimal bagi kehidupan dan pertumbuhannya antara 15-25 ppt. Udang windu juga memerlukan lingkungan perairan dengan kisaran suhu 28-30 derajat celcius, kadar oksigen terlarut antara 4-7 mg/l, dan bebas dari basil metabolisme, khususnya NH3 dan H2S serta cemaran lainnya. Kadar aman NH 3-N bagi PL 30-50 adalah 0,15 mg/l. Sementara itu, bagi udang muda dan dewasa masing-masing kadar tertingginya o,1 mg/l dan o,08 mg/l.



D. Wadah budi Daya
ProdukSi tokolan udang windu menggunakan hapa pada unit karamba jaring apung di laut. Hapa terbuat dari kain kasa warna hijau ukuran 4 m X 2 m X 1 m. hapa diikatkan pada rakit berukuran 6 m x 6 m. Pelampung rakit terbuat dari drum plastik bervolume 200 liter sebanyak 9 buah per unit. Rakit dilengkapi jangkar sehingga posisinya selama pemeliharaan tidak mengalami perubahan. Untuk menjaga agar benur tetap dalam kondisi optimal, setiap hapa dilengkapi dengan selter secukupnya (minimal 40 untaian setara dengan 3 m waring utuh dengan lebar 90 cm). Separuh permukaan hapa ditutup gedek bambu untuk mengurangi intensitas cahaya matahari secara langsung.


E. Pengelolaan Budi Daya
1. Pentokolan
Produksi tokolan udang windu sebenarnya sudah dikenal sejak 20 tahun yang lalu dengan beragam istilah, seperti pengipukan, pendederan, dan pentokolan. Namun demikian, pemanfaatan
tokolan baru menunjukan perkembangan nyata sejak 5 tahun terakhir seiring dengan makin meluasnya serangan penyakit udang di tambak.

Budi daya udang windu yang biasa dilakukan dalam KJA di laut adalah pentokolan. Pentongkolan merupakan stadia awal setelah dari panti benih (hatchery). Manfaat penggunaan tokolan antara lain masa pemeliharaan di petak pembesaran lebih singkat (90 hari) dan peluang keberhasilan panen cukup besar karena tokolan sudah tahan terhadap perubahan lingkungan.


Selain itu, produktivitas tambak meningkat karena musim pemeliharaan bisa ditingkatkan menjadi tiga kali per tahun, sintasan antara 70-90%, dan efisien dalam penggunaan pakan.
Sistem pentokolan udang windu di KJA laut telah dikembangkan dengan modifikasi dari teknologi yang telah ada. Benur yang digunakan adalan post larvae (PL)12 yang diperoleh dari hatchery sekitar lokasi. Padat penebaran antara 2.000-3.000 ekor/m2.


2. pemberian pakan
Udang windu merupakan pemakan detritus dan benthos (mahluk yang hidup dasar perairan). Namun, udang ini sangat tanggap terhadap, pakan buatan berbentuk pelet yang berkadar
protein tinggi (40-42%). Adapun pemberian pakan dalam KJA berupa pelet. komersial dengan dosis menurun sesuai dengan bobot total/hari, yaitu

hari ke-1 sampai hari ke-6 sebesar 50%;

hari ke-6 sampal hari ke-15 sebesar 25%;

hari ke-16 sampai hari ke-25 sebesar 8%;

hari ke-26 sampai hari ke-36 sebesar 6%;

dan hari ke-36 sampai hari ke-42 sebesar 5%.

Frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari, yaitu pukul 07.00, 12.00,17.00, dan 22.00. Produksi tokolan terbaik di KJA laut diperoleh pada masa pemeliharaan 15-3o hari dengan sintasan mencapai 73%.


F. Pengendalian Hama dan penyakit
pentokolan benur dilakukan dalam hapa sehingga jarang ditemukan hama yang mengganggu. Mortalitas benur terutama disebabkan adanya perubahan salinitas yang mendadak dan perubahan suhu air yang mendadak.


G. panen
Pemanenan dilakukan setelah masal pemeliharaan 15-3o hari dari benur PL 12 atau saat ada permintaan dari konsumen. Caranya yaitu dengan mengangkat waring sampai airnya kelihatan tinggal sedikit, kemudian tokolan diambil pakai serok yang terbuat dari bahan halus/lunak. Tongkolan tersebut dimasukan ke ember plastik yang berisi air untuk dilakukan penghitungan.


Transportasi benih dilakukan secara terbuka atau tertutup. pengangkutan secara terbuka hanya dilakukan untuk pengangkutan jarak dekat dan jumlah tokolan tidak banyak. Untuk pengangkutan jarak jauh, tokolan dimaksukan ke dalam kantong plastik (dirangkap dua) yang berisi air (2 liter) dan tokolan sekitar 1000 ekor, kemudian dimasukan oksigen. Perbandingan oksigen dengan air adalah 3 : 1. Kantong-kantong plastik ini dimasukan ke dalam boks styrofoam, lalu diselipkan es yang sudah dikemas kantong plastik antara kantong plastik.' tujuannya agar suhu di dalam boks sekitar 20-22 derajat celcius.

sumber : Penebar Swadaya, 2008

Budidaya ikan Cobia


Cobia

Cobia hidup di perairan tropis dan subtropis. Ikan ini banyak ditemukan di Pasifik, Atlantik, dan sebelah barat daya Meksiko. Budi daya cobia di Indonesia baru pada tahap, percobaan. Namun demikian, pembenihan dan pembesaran cobia sudah bisa dilakukan.


A. Sistematika
Famili : Rachycentridae
Species : Rachycentron canadum
Nama dagang : cobias, sergeantfishes, black kingfishes
lokal : gabus laut


b. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Bentuk tubuh cobia menyerupai torpedo. Sebagai ikan perenang cepat, kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sisik berukuran kecil dan terbenam dalam kulit yang tebal. Sirip punggung panjang dengan duri dan jari-jari dengan rumus
D VI—IX, 30-33. Di depan Sirip punggung terdapat 6-9 duri keras pendek yang terpisah satu dengan lainnya.

Sirip dubur cukup panjang dengan duri dan jari-jari berumus A II—III, 23-25.
Badan berwarna cokelat gelap. Bagian bawah badan berwarna kekuning-kuningan. Terdapat dua garis tebal keperakan sepanjang tubuhnya pada ikan yang masih muda. Ukuran ikan di alam yang ditemukan 80-100 cm dengan panjang maksimum 180 cm.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Cobia ukuran juvenil (Juwana) dengan bobot 200-300 g juga tertangkap di perairan barat laut Bali.
Ikan cobia mempunyai pertumbuhan yang cepat contohnya ikan berukuran 5-7 kg dapat tumbuh 1-2 kg/bulan. Ukuran cobia tersebut bisa mencapai bobot 12-15 kg dengan masa pemeliharaan selama 20 bulan di KJA.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
Lokasi yang cocok untuk budi daya ikan cobia, di antaranya perairan selat kecil atau teluk yang terlindung dari ombak dan badai. Selain itu, pola pergantian massa airnya baik, bebas dari pencemaran, mudah memperoleh benih dan pakan, serta mudah terjangkau.


D. Wadah Budi Daya
Penempatan karamba biasanya menggunakan rakit yang kerangkanya terbuat dari kayu yang keras dan tahan terhadap, pengaruh hujan, terik matahari, dan air. Kayu ulin atau kayu bayam berukuran 5 cm x 7 cm x 6 m atau 5 cm x 10 xcm 6 m dapat digunakan sebagai bahan rakit. Rakit biasanya menggunakan drum plastik berukuran 200 liter yang dilengkapi jangkar berikut talinya.


Karamba jaring berukuran 2 m X 2 m X 2 m digunakan untuk benih berukuran 25 g. Sementara itu, ukuran 3 m x 3 m x 2 m untuk ikan yang bobotnya 1 kg.


E. Pengelolaan Budi Daya
1. Penyediaan benih
Benih sudah bisa disediakan, khususnya pada Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol-Bali.


2. Penebaran benih
Padat tebar pada karamba jaring berukuran 2 M X 2 M X 2 m sekitar 80o ekor dengan ukuran benih 25 g. Setelah ukuran ikan mencapai 1 kg, ikan dipindahkan pada jaring yang berukuran 3 m x 3 M X 2 m dengan kepadatan < 10 ekor/m3.

3. Pemberian pakan
Pemberian pakan bisa dengan ikan rucah maupun pakan buatan (pelet). Sebagai acuan cara pemberian pakan bisa dilihat pada Tabel 5 dan 6.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Seperti diketahui, budi daya ikan cobia di Indonesia baru berkembang, sampai saat ini belum ada laporan maupun belum diketahui jenis-jenis penyakit yang menyerang ikan budi daya ini.


G. Panen
Cobia dapat dipanen jika telah mencapai ukuran 25-3o cm dari ukuran tebar berumur D1 dengan masa. pemeliharaan 80—1oo hari. Sistem panen secara total. Adapun cara panennya seperti panen ikan umumnya di KJA.

sumber : Penebar Swadaya,2008

Budidaya Ikan Bandeng


Bandeng

Ikan bandeng memiliki rasa daging yang enak dan harga yang terjangkau. Khusus di daerah Jawa dan Sulawesi Selatan, ikan bandeng memiliki tingkat preferensi konsumsi yang tinggi. Selain sebagai ikan konsumsi, ikan bandeng pada banyak diminta sebagai umpan hidup bagi usaha penangkapan ikan tuna (Thunnus spp.) dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Bandeng juga banyak diminta untuk keperluan induk.


Keunggulan komoditas bandeng dibandingkan dengan komoditas lainnya, di antaranya

a) induknya memiliki fekunditas yang tinggi dan teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasok nener tidak tergantung dari alam;
b) teknologi budi dayanya relatif mudah;
c) bersifat eurihalin antara. 0-50 ppt;
d) bersifat herbivore, tetapi dapat juga menjadi omnivore dan tanggap terhadap pakan buatan; e) pakan relatif murah dan tersedia secara komersial;
f) tidak bersifat kanibal sehingga bisa hidup dalam kepadatan tinggi;
g) dapat dibudidayakan secara polikultur dengan komoditas lainnya;
h) dapat digunakan sebagai umpan bagi industi perikanan tuna dan cakalang; dan
i) dagingnya bertulang, tetapi rasanya lezat dan di beberapa daerah memiliki tingkat preferensi konsumsi yang tinggi.

A. Sistematika
Famili : Chanidae
Spesies : Chanos chanos
Name dagang : milkfish
Name lokal : bolu, muloh, ikan agam


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Tubuhnya berbentuk memanjang, padat, pipih, dan oval.
Perbandingan tinggi dengan panjang total sekitar 1 : (4,0-5,2).
Sementara itu, perbandingan panjang kepala dengan panjang total
adalah 1 : (5,2 - 5,5) Kepala tidak bersisik. Mulut terletak di ujung dan berukuran
kecil. Rahangnya tanpa gigi. Mata tertutup oleh kulit bening (subcytuneus).

Tutup, insang terdiri dari tiga bagian tulang, yaitu operculum suboperculum dan radii branhiostegi, semua tertutup selaput membran branhiostegi. Sirip dada terletak dekat/di belakang tutup, insang dengan rumus jari-jari PI. 16-17. Sirip, perut terletak di bawah perut, dengan rumus jari-jari VI. 10-11. Sirip dubur terletak dekat anus dengan rumus jari-jari A 11. 8-9.

Garis sisi (Linea lateralis) terletak memanjang dari belakang tutup insang dan berakhir pada bagian tengah sirip ekor..


2. Pertumbuhan dan perkembangan

Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihalin. Oleh karena itu,
ikan bandeng dapat hidup di daerah air tawar, air payau, dan air laut. Induk bandeng baru bisa memijah setelah mencapai umur 5 tahun dengan ukuran panjang o,5-1,5 m dan berat badan 3-12 kg. Jumlah telur yang dikeluarkan induk bandeng berkisar 0,5-1,0 juta butir tiap kg berat badan.

Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat, yaitu 1,1-1,7 % bobot badan/hari. Pada tahap pendederan ikan bandeng, penambahan bobot per hari berkisar 40-50 mg. Ikan bandeng dengan bobot awal 1-2 g membutuhkan waktu 2 bulan untuk mencapai bobot 40 g.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
Ikan ini mampu menghadapi perubahan kadar garam yang sangat besair (eurihalin). Oleh karena itu, ikan laut ini bisa juga hidup di air payau dan air tawar.

Lokasi ideal budi dayanya pada laguna di daerah pantai dan teluk terlindung yang aliran arusnya atau pergantian airnya lebih dari i00%/hari. Beberapa aspek teknis dalam pemilihan lokasi budi daya bandeng dalam KJA adalah

1) penempatan karamba harus di lokasi perairan yang bebas dari pencemaran,
2) terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar,
3) sirkulasi air akibat pasang surut dan arus tidak terlalu kuat (optimum 20-50 cm/dt),
4) kurang organisme penempel (biofouling),
5) fluktuasi salinitas tidak terlalu besar (<5 ppt), dan
6) oksigen terlarut tidak kurang dari 4 mg/l.


D. Wadah Budi Daya
Pemeliharaan bandeng di KJA laut memerlukan wadah berupa keramba jaring, rakit berikut pelampung, dan jangkar. Ukuran rakit disesuaikan dengan ketersediaan bahan, dan jenis komoditas budi daya. Ukuran rakit biasanya 5 m x 5 m, 7 m x 7 m dan 10 m x 10 m, yang dapat memuat 4-16 karamba jaring ukuran 2 M X 2 M X 2 M.


Untuk pemeliharaan bandeng pada bulan pertama (ukuran ikan <20 g/ekor) digunakan karamba yang terbuat dari jaring hijau atau hitam. Masuk bulan ke 2 baru dipindahkan ke dalam karamba yang terbuat dari jaring trawl. Setiap karamba dilengkapi dengan penutup untuk menghindari kemungkinan lolosnya ikan pada saat ada goncangan. Pergantian karamba dilakukan sekali sebulan untuk menghindari terjadinya penempelan biofouling yang dapat mengganggu sirkulasi air.



E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Kini sebagian besar benih bandeng diperoleh dari hatchery, tidak lagi dari alam.


2. Penebaran benih
Benih yang ditebar dalam KJA sebaiknya berukuran gelondongan. Hal ini disebabkan nener belum mampu mengatasi pengaruh lingkungan perairan yang berarus dan bergelombang. Keuntungan lain penggunaan gelondongan adalah benih dapat tumbuh cepat sehingga mempersingkat waktu pemeliharaan.

Padat penebaran sangat tergantung pada ukuran ikan dan wadah budi daya. Sifat perenang cepat dan melawan arus perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan padat penebaran. Padat penebaran ikan berukuran 3 g sebesar 200-30o ekor/m3. Adapun padat tebar ikan berukuran 100-15o g/ekor adalah 125 ekor/m3.


Penebaran hendaknya dilakukan pada pukul 06.00-08.00 atau 19.00-20.00 untuk menghindari ikan stres aldbat perubahan kondisi lingkungan perairan. Adaptasi salinitas hendaknya dilakukan sebelum benih ditebar dan disesuaikan dengan salinitas perairan di lokasi KJA.
Transportasi bandeng ke karamba dapat dilakukan dengan penggunaan kantong plastik berisi air 5-10 l dan oksigen dengan perbandingan 1 : 2. Padat penebaran gelondongan ukuran 10 cm sekitar 5o ekor/kantong, dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam.

Penggunaan penoksetan0l 20o mg/l dan penurunan suhu dapat diaplikasikan dalam pembiusan ikan selama transportasi untuk mencegah kerusakan fisik.


3. Pendederan
Pendederan nener dapat dilakukan di petakan tambak, bak terkontrol, maupun hapa yang ditancapkan di tambak. Pendederan umumnya berlangsung selama 8o hari. Pendederan bertujuan untuk mendapatkan gelondongan bandeng berukuran 75—1oo g/ekor. Selama tahap pendederan pertambahan bobot ikan per hari berkisar 40-5o mg.

4. pembesaran
Lama pembesaran untuk mencapai ukuran di atas 300 g dengan benih berukuran sekitar 3 g adalah 12o hari. Adapun lama pembesaran untuk mencapai ukuran konsumsi (500 g/ekor) dengan berat benih 20 g selama 5 bulan.

5. Pemberian pakan
Pakan utama bandeng terdiri dari organisme plankton, benthos, detritus, dan epifit. Dalam budi daya bandeng sekarang, digunakan juga pakan ikan buatan (pelet). Budi daya bandeng dalam KJA sepenuhnya mengandalkan pada pakan buatan dengan kandungan proteinnya berkisar 20-30%.

Umumnya pakan diberikan sebanyak 10-30% dari total bobot ikan/hari. Waktu pemberian pakan dilakukan sebanyak 2-3 kali sehari (pagi, siang, dan sore). Pemberian pakan dilakukan sedikit demi sedikit agar pakan tidak banyak terbuang. Pemberian pakan dapat juga dengan metode satiasi (sekitar 90% ikan dalam kondisi kenyang).

Pertumbuhan ikan perlu dipantau setiap bulan. Tujuannya sebagai acuan dalam menentukan jumlah pakan yang diberikan serta mengevaluasi perkembangan bobot dan kesehatan ikan.

F. Pengendalian Hama penyakit
Bandeng yang dibudidayakan di laut umumnya bebas dari parasit dan hampir tidak didapatkan organisme yang bersifat patogen.


G. Panen
Bandeng dapat dipanen setelah mencapai ukuran konsumsi (300-500 g/ekor) dengan lama pemeliharaan 4-5 bulan dari gelondongan. Sementara itu, bandeng super dapat dipanen setelah berukuran 800 g/ekor dengan masa pemeliharaannya selama 120 dari gelondongan ukuran 100-150 g/ekor. Tingkat produktivitas bandeng dalam KJA ditentukan oleh faktor laju pertumbuhan, sintasan, kuantitas, dan kualitas pakan serta pengelolaan budi daya. Panen bisa dilakukan secara selektif atau total dengan menggunakan serer.

sumber : Penebar swadaya, 2008

Budidaya Ikan Nila Merah


NILA MERAH

Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan ini masuk ke Indonesia pada tahun 1981 dari Filipina dan tahun 1989 dari Thailand.



Budi daya nila merah telah berkembang di beberapa daerah, bahkan produksinya telah diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Dagingnya putih serta tebal. Rasanya enak, seperti ikan kakap merah. Di beberapa negara Eropa, daging nila merah dimanfaatkan sebagai substitusi bagi daging kakap merah.


Dalam budi daya, ikan nila merah mempunyai keunggulan antara lain) ikan nila merah respon terhadap pakan buatan, 2)pertumbuhan cepat, 3) dapat hidup dalam kondisi kepadatan tinggi, 4) nilai perbandingan antara konsumsi pakan dan daging Yang dihasilkan lebih rendah, 5) tahan terhadap penyakit dan lingkungan perairan yang tidak memadai, 6) rasa dagingnya enak dan banyak digemari masyarakat.


A. Sistematika
Famili : Chiclidae
Spesies : Oreochromis niloticus
Nama dagang : red tilapia
Nama lokal : kakap merapi, mujarah


B. Ciri-ciri dart Aspek Biologi 91

1. Ciri fisik
Tubuh ikan agak bulat dan pipih. Mulut terletak di ujung kepala (terminal). Garis rusuk (linea lateralis) terputus menjadi dua bagian dan terletak memanjang mulai dari atas sirip dada. Jumlsh sisik garis rusuk sebanyak 34 buah. Warna badan kemerahan polos atau bertotol-totol hitam dan sering pula berwarna albino (bule).



2. Pertumbuhan dan perkembangan
Nila merah bersifat beranak pinak dan cepat pertumbuhannya. Selain itu, ikan ini memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan kadar garam sampai 3o promil. Kedewasaan pertama tercapai pada umur 4-6 bulan dengan bobot 100-250 g. Jenis ikan ini dapat memijah 6-7 kali/tahun.


Seekor induk betina dapat menghasilkan telur sebanyak 1.000 - 1.50o butir. Saat pemijahan ikan jantan akan membuat sarang dan menjaganya. Telur yang telah dibuahi dierami oleh induk betina di dalam mulutnya. Penjagaan oleh betina masih terus dilanjutkan sampai seminggu setelah telur-telur tersebut menetas.


Di dalam karamba jaring apung ikan ini dapat mencapai ukuran di atas 250 g dalam waktu 4 bulan dari bobot awal sekitar 20 g. lkan jantan tumbuh lebih cepat dan lebih besar dibanding betinanya.



C. Pemilihan Lokasi Budi Daya

sebagai ikan yang tergolong eurihalin, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut. Namun demikian, pada perairan dengan kadar garam tinggi (>29 ppt) ikan ini masih tumbuh baik, tetapi tidak dapat berkembang biak. Nila merah dapat tumbuh baik pada lingkungan perairan yang bersuhu antara 27-33 0 C; kadar oksigen terlarut >3 mg/l; pH 7-8,3; alkalinitas 90 — 190 mg/l; kesadahan 62-79 mg CaCO 3, kecepatan arus 10 -2o cm/dt, kecerahan >3 m, dan kedalaman air 10-20 M.



D. Wadah Budi Daya
Rakit sebagai tempat karamba dapat dibuat dari bahan kayu, pipa besi antikarat, atau bambu. Pelampung berupa drum plastik bervolume 200 l. Untuk satu unit KJA berukuran 5 m x 5 m,

memerlukan 8-9 Pelampung karamaba dibuat dari jaring yang bahannya dari polietilen. Ukuran mata jaring tergantung dari ukuran ikan yang akan dipelihara. Pada setiap sudut karamba harus diberi pemberat dari batu atau semen cor seberat 2-5 kg. Jangkar diperlukan yang berfungsi untuk menjaga rakit agar tidak terbawa arus. Jangkar bisa terbuat dari besi, kayu, maupun coran semen.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Pembenihan nila merah secara umum ditujukan untuk memproduksi benih campuran jantan betina. Mengingat ikan jantan mempunyai ukuran yang lebih besar dan laju pertumbuhan yang lebih cepat, banyak petani mengarahkan pada budi daya nila merah jantan. Oleh karena itu, para pakar budi daya perikanan telah berupaya menciptakan teknologi pembenihan nila merah jantan dengan penggunaan 6o mg hormon metiltestosteron yang dicampur
ke dalam 1 kg pakan larva. Proses alih kelamin tersebut berlangsung selama 28 hari



Pengangkutan benih sebaiknya dilakukan dengan sistem terbuka jika membutuhkan waktu kurang dari 4 jam. Sementara itu, apabila lebih dari 4 jam, pengangkutan dapat dilakukan dengan sistem tertutup menggunakan kantong plastik yang ditambahkan oksigen.


2. Penebaran
Penebaran benih dilakukan pada pagi atau sore hari agar kondisi udara tidak terlalu panas. Sebelum penebaran, harus diperhatikan kondisi kualitas air. Jika kualitas air pengangkutan beda dengan kualitas air lokasi budi daya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan terutama terhadap salinitas dan suhu. Padat tebar yang optimal untuk diaplikasikan adalah 500 ekor/m3 dengan bobot awal benih 15-20 g/ekor dan waktu pemeliliaraan 3 bulan untuk sistem budi daya tunggal kelamin (jantan saja).


3. Pemberian pakan
Pada waktu muda ikan ini pemakan plankton, baik plankton nabati maupun hewani. Beranjak dewasa ikan nila merah mulai makan detritus dan sering juga alga benang. Selain bersifat herbivore, ikan ini bersifat omnivore sehingga dapat diberikan pakan buatan (pelet). Ikan ini tanggap, terhadap pakan buatan (pelet), baik pelet tenggelam maupun terapung. Pakan buatan yang diberikan adalah pelet dengan kandungan protein 26-28% sebanyak 3% dari bobot badan per hari. Frekuensi pemberiannya 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam.


F. Pengendalian Hama dan Penyaldt
Untuk mengetahui jenis penyakit dan Cara pencegahannya, diperlukan diagnose gejala penyakit. Gejala penyakit untuk ikan nila merah yang dibudidayakan dapat diamati dengan tenda-tanda berikut.


a) Penyakit kulit Gejala
- Berwarna merah di bagian tertentu.
- Kulit berubah warna menjadi lebih pucat.
- Tubuh berlendir.


Pengendalian
1) Perendaman ikan dalam larutan PK (kalium permanganat) selama 3o-6o menit dengan dOSiS 2 g/10 l air. Pengobatan dilakukan berulang 3 hari kemudian.

2) Perendaman ikan dengan Negovon (kalium permanganat) selama 3 menit dengan dosis 2-3,5%.


b) Penyakit pada insang
Gejala
- Tutup insang bengkak.
- Lembar insang pucat/keputihan.

Pengendalian
- Cara pengendalian sama dengan penyakit kulit.


c) Penyakit pada organ dalam Gejala
- Perut ikan bengkak.
- Sisik berdiri.
- Ikan tidak gesit.
Pengendalian
- Cara pengendaliannya sama dengan penyakit kulit.


Adapun secara umum hal-hal yang dilakukan untuk dapat mencegah timbulnya penyakit pada budi daya ikan nila merah di KJA adalah sebagai berikut.

1. HIndari penebaran ikan secara berlebihan melebihi kapasitas.
2. Berikan pakan cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya.
3. Hindari penggunaan pakan yang sudah berjamur.


G. Panen
Ikan nila merah yang dipelihara dengan padat penebaran 50o ekor/m3 dapat dipanen setelah 3 bulan. Produksinya 85 kg/m3 dan sintasan 85%. Pemanenan ikan di KJA mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung dari kebutuhan.
Panen harus dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya luka akibat gesekan atau tusukan sirip ikan lainnya. Cara panennya adalah dasar karamba diangkat perlahan-lahan. Namun, salah satu sisi karamba harus tetap berada dalam air untak memungkinkan ikan berkumpul. Setelah itu, ikan yang sudah terkumpul disisi karamba diseleksi dan ditangkap dengan menggunakan seser secara perlahan-lahan.

sumber : Penebar Swadaya, 2008

Budidaya Ikan Baronang


Baronang

Baronang merupakan salah satu jenis ikan laut yang banyak diminati oleh konsumen karena rasa dagingnya lezat. Di perairan Indonesia terdapat tidak kurang dari 7 spesies ikan baronang, yaitu Siganus javus, S. argentinzaculatus, S. vermiculatus, S. guttatus, S. spinus, S. Rivulatus, dan S. canaliculatus. Di antara ketujuh jenis baronang tersebut yang potensial untuk dibudidayakan adalah S. guttatus dan S. canaliculutus. Kedua jenis ikan tersebut cepat tumbuh dan toleran terhadap kondisi berjejal dan stres.


A. Sistematika
Famili : Siganidae
spesies : Siganus guttatus, S. canaliculatus, S. Javus, S. virgatus
Nama dagang : siganids, rabbit fish
Nama lokal : samadar, dingkis, kea-kea



b. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Famili ikan ini terdiri dari dari satu genus, yaitu Siganus. Tubuhnya pipih lateral (compressed) yang dilindungi sisik sikloid kecil-kecil. Linea-lateralis sederhana. Mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi yang kecil. Punggungnya dilengkapi dengan sebuah duri yang tajam mengarah ke depan. Posisi duri di bagian depan dari sirip punggung. Biasanya duri ini tertanam di bawah kulit.

Duri-duri dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya.
Tubuhnya berwarna keperakan di bagian punggung. Sementara itu, bagian perut dan dada berwarna putih, tergantung dari jenis baronang.


2. Pertumbuhan dan perkembangan
Variasi jumlah telur ikan baronang yang berukuran panjang 22-27 cm adalah antara 200.000-1.300.000 butir. Juwana baronang S. guttatus yang berukuran D35 dapat mencapai berat 5o g atau panjang total 12 cm dalam 115 hari. Sementara itu, baronang S. canaliculatus dapat mencapai berat 93 g/ekor selama 5 bulan pemeliharaan dari benih berukuran 25 g/ekor.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
ikan ini hidup di perairan payau dan laut di daerah tropis. Salinitas terbaik untuk inkubasi telur adalah antara 10-51 ppt. Sementara itu, salinitas untuk perkembangan larva yang masih mengandung kuning telur adalah 14-37 ppt.


D. Wadah Budi Daya
Ikan ini dapat dibudidayakan di karamba jaring apung dan tambak. Benihnya ditempatkan pada karamba berukuran 2 m X 2 m X 2 m yang bermata jaring 12-25 mm.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Ketersediaan benih masih terkendala. Pembudidaya memperoleh benih ini dari hasil tangkapan alam. Kini, benih dari hatchery sudah bisa diperoleh. Pada musim tertentu benih S. canaliculatus banyak terdapat di perairan pantai pada lokasi tertentu (Sulawesi Selatan).


2. Penebaran benih
Benih berukuran 30-50 g/ekor dapat ditebarkan dalam karamba dengan kepadatan 250 ekor/m2

3. Pendederan
Benin berukuran 1-3 g/ekor dapat didederkan dalam karamba bermata jaring 22 min dengan kepadatan 300-5oo ekor/m3. Untuk mencapai ukuran 30-50 g, diperlukan waktu pendederan 2 bulan.

4. Pemberian pakan
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan berupa pakan buatan (pelet) dengan dosis 3-5% bobot badan. Pakan tersebut diberikan 3 kali sehari (pagi, Siang, dan malam hari).


F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Ikan baronang (S. guttatus) dapat terserang parasit sejenis dinoflagelata, yaitu Amyloodinium ocellatum. Organ yang diserang adalah insang dan kulit. Ikan yang terinfeksi oleh parasit ini menunjukkan gejala berenang megap-megap di permukaan, muncul warna merali di sekeliling mulut, dan gejala anemia. Bahkan, jika terinfeksi berat, dapat berakibat kematian pada ikan.

Pencegahan dan pengobatan, yaitu dilakukan perendaman dengan formalin 200 ppm selama satu jam disertai aerasi kuat. Hal ini disebabkan
penggunaan formalin dengan dosis tinggi dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air, selain ikan sangat sensitif terhadap formalin.

Jamur yang sering menyerang ikan laut adalah Ichthyophonus sp. Tanda adanya infeksi jamur, yaitu pada setiap ikan berbeda. Beberapa ikan terinfeksi tidak menunjukkan gejala sakit. Namun, ada juga yang ditandai dengan pembengkakan organ dalam, seperti limpa, hati, dan ginjal disertai benjolan putill berdiameter hingga lebih dari 2 mm, kadang disertai pembengkakan perut dan bergerak tak menentu.


Efek lain yang timbul adalah ikan kehilangan nafsu makan sehingga menjadi kurus dan menderita anemia. Pengobatannya belum diketahui. Untuk menghindari serangan penyakit ini, sebaiknya sejauh mungkin dihindari pemberian pakan yang terkontaminasi jamur.

Penyakit bakterial penting pada ikan baronang, yaitu penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio spp. dan Streptococcus sp. Gejala yang timbul, antara lain nafsu makan menurun, warna tubuh menjadi lebih gelap, perdarahan (hemoragi) multifokal pada sirip, dan mata buram/keruh serta sering kali menonjol. Infeksi kronis umumnya menyebabkan insang pucat.


Pencegahannya dengan mempertahankan kualitas perairan, melakukan penanganan sesuai prosedur, padat penebaran yang lebih rendah, dan vaksinasi. Pengobatannya dengan perendaman ikan sakit ke dalam larutan nitrafurazone 15 mg/l selama 2 jam atau Chloramphenicol 5o mg/l selama 4 jam. perendaman dapat juga dengan Supphonamide 5o mg/l selama 4 jam.



G. Panen
Baronang dapat dipanen setelah mencapai ukuran konsumsi, yaitu 300-400 g/ekor dengan waktu pemeliharaannya selama 3-4 bulan. Adapun cara panennya seperti panen ikan umumnya di KJA.
Baronang siap panen Lamanya pemeliharaan sekitar 3-4 bulan untuk menghasilkan baronang siap dikonsumsi
sumber :Penebar Swadaya, 2008

budidaya kakap merah


Kakap Merah


Di Perairan Indo-Pasifik terdapat 31 spesies yang termasuk genus Lutjanus. Di antara ke-31 spesies tersebut sampai saat ini, baru Lutjanus johni, Lutjanus argentimaculatus, dan Lutjanus sebae yang telah dibudidayakan.

Beberapa sifat kakap merah yang menguntungkan usaha budi daya adalah pertumbuhan relatif cepat, toleran terhadap kekeruhan, ruang terbatas dan salinitas, serta tanggap terhadap pakan buatan. Selain itu, budi daya ikan ini relatif mudah, tahan terhadap penyakit, dapat dipelihara dalam kepadatan yang tinggi, dan sifat kanibalismenya rendah.


A. Sistematika
Famili : Lutjanidae
spesies : Lutjanus argentimaculatus, L. sebae, L. johni
Nama dagang : mangrove red snapper, emperor red snapper, John's snapper
Nama lokal : bambangan, ungar



B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Tubuh ditutupi sisik ctenoid berukuran sedang dan kecil. Bagian depan dari kepala hidung dan daerah mata tanpa sisik. Beberapa baris sisik terdapat pada tutup insang. Linea lateralis komplit dengan bentuk lurus atau kurva/melengkung. Gigi pada rahang biasanya beberapa baris.


Terdapat gigi pada mulut bagian atas. Sirip ventral dengan satu duri keras dan 5 jari-jari lunak. selain itu erdapat sirip punggung dan sirip dubur



Tubuh ikan berwarna merah/cokelat. Bagian bawah tubuhnya berwarna merah muda Untuk P. argentimaculatus. Adapun L. sebae dewasa berwarna merah gelap dan juwana berwarna merah (pink) dengan loreng (band berwarna merah gelap. Bagian sirip punggung, sirip, dubur, dan bagian atas sirip ekor berwarna gelap.

Untuk L. johni, warna badan hijau keperakan atau warna perunggu. Terdapat satu totol hitam besar di bawah sirip punggung, posisinya di antara batas dari keras dan jari-jari lunak.



2. Pertumbuhan dan perkembangan
Laju pertumbuhan ikan kakap merah yang dipelihara dalam karamba jaring apung mencapai 0,56% per hari. Data tersebut menunjukkan baliwa ikan kakap merah tergolong ikan yang cepat pertumbuhannya.

kakap merah termasuk jenis ikan hermaphrodit protandi, yaitu berstatus jantan pada awal kehidupannya, lalu berubah menjadi betina. Ikan kakap, merah yang berukuran antara 45,0 - 55,0 cm didominasi oleh ikan jantan, sedangkan yang berukuran 56,0-62,5 cm didominasi ikan betina.


Perubahan dari jantan ke betina terjadi setelah ikan berumur 6-8 tahun. Pada saat itu, induk jantan telah berukuran bobot 3,5 kg dengan panjang total 53-6o CM.
Ikan betinanya akan siap memijah setelah berukuran sekitar 6 kg. Bobot induk betina L. argentimaculatus yang telah matang gonad antara 2,9-5,5 kg, sedangkan jantan antara 3,6-4,6 kg. L. sebae memijah sepanjang tahun, sedangkan L. argentimaculatus memijah selama 6 bulan, yaitu dari bulan Desember—Juni.



Pemijahan dapat dilaksanakan di dalam tangki maupun KJA. Seekor ikan betina yang bobotnya antara 3-4,5 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 1,2 juta butir. Khusus L. sebae, pemijahannya tidak tergantung pada sildus peredaran bulan. Ikan jenis ini memijah pada bulan gelap maupun bulan purnama. Namun, keragaan pemijahan yang lebih baik terjadi pada bulan gelap dibanding bulan terang. Pemijahan berlangsung dalam tangki pada kedalaman air 70-16o m.



C. Pemilihan lokasi budidaya

Ikan kakap merah tergolong ikan eurihalin. Kakap merah yang masih muda dan dewasa hidup di daerah mangrove dan muara sungai yang kadar garamnya mendekati air tawar. Sifat ini menciptakan peluang untuk membudidayakannya, baik di tambak maupun dalam KJA di laut.
Lokasi penempatan KJA atau karamba tancap harus terlindung dari pengaruh gelombang besar dan angin kencang, seperti perairan teluk yang terlindung, selat kecil, muara sungai ataupun sungai yang airnya bersifat payau. Kakap merah bisa hidup di perairan laut maupun perairan payau dengan kadar garam berkisar 10-35 ppt, dan suhu air 26-310 C.


D. Wadah Budi Daya

Ikan kakap merah dapat dibudidayakan dalam KJA maupun karamba tancap di perairan pantai, sekitar muara sungai. Ikan ini dapat dibudidayakan dalam KJA berukuran 2 m X 2 m X 2 m, maupun ukuran yang lebih besar 3 m x 3 m X 2 m, disesuaikan dengan target produksi yang ingin dicapai.



E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Benih kakap merah bisa diperoleh dari hatchery yang menyediakan benih kakap ini, atau bisa diperoleh dengan cara penangkapan dari alam. Benih dari alam biasanya ketersediaannya terbatas, ukurannya tidak seragam dan hanya tersedia pada musim tertentu. Adapun pengangkutannya dengan sistem tertutup.


2. Penebaran benih
Penebaran benih dilakukan sebaiknya walau pagi atau sore hari karena suhu udara atau air lebih dingin. Sebelum penebaran, harus diperhatikan kondisi kualitas air, terutama suhu dan salinitas. Jika suhu dan salinitas air pengangkutan cukup berbeda dengan air di
lokasi budi daya, perlu dilakukan adaptasi.

Padat penebaran benih kakap merah seberat 5o g adalah 100 ekor/m3. Adapun padat penebaran ikan yang berukuran lebih besar (200 g), yaitu 11-12 ekor/m2.


3. Pembesaran
Pemeliharaan ikan jenaha (L. johni) selama 6 bulan akan mencapai bobot 356 g dengan bobot awal 125 g.

4. Pemberian pakan
Pakan yang digunakan adalah ikan rucah sebesar 5-10% bobot badan/hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali/hari. Adapun L. argentimaculatus yang diberi pakan rucah sebanyak 10% bobot badan/hari selama masa pemeliharaan 7 minggu menunjukkan laju pertumbuhan rata-rata o,8% per hari. Frekuensi pemberian pakannya satu kali sebesar 7% bobot badan per hari.


F. Pengendalian Hama dan Penyakit

Bakteri yang menyerang ikan kakap merah adalah Streptococcus iniae. Gejala ikan yang terserang penyakit ini, di antaranya warna ikan berubah menjadi lebih gelap, kehilangan keseimbangan, berenang berputar dan timbul bintik - bintik merah pada kulit.

Pencegahan yang dilakukan dengan cara menghindari padat tebarserta pemberian pakan berlebihan dan mencegah penanganan kasar.
Selain bakteri, ikan ini dapat diserang parasit, yaitu kutu kulit. Kutu kulit adalah parasit eksternal yang umum pada ikan budi daya laut. Ada dua kutu kulit yang ditemukan pada ikan kakap merah, yaitu Neobenedenia dan Benedenia.

Kutu kulit pada ikan sangat sulit diamati karena benvarna transparan. Apabila dimasukkan ke dalam air tawar untuk beberapa menit, kutu kulit baru terlihat karena berubah warna menjadi keputihan. Pemberantasan parasit ini dengan cara merendam ikan di air tawar selama 5 menit. Jika tingkat serangannya parah, perendaman dapat dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu seminggu.


G. Panen
Ikan kakap merah dipanen setelah berukuran 500 g. Ukuran tersebut ideal untuk dipasarkan. Adapun lama pemeliharaan untuk mencapai ukuran tersebut adalah 6 bulan benih 5o g. Sementara itu, benih berbobot 20o g akan mencapai rata-rata 890 g/ekor selama 225 hari.
Pada prinsipnya cara pemanenan ikan kakap merah dari KJA sama seperti cara panen ikan di KJA umumnya.

sumber : Penebar Swadaya, 2008

Budidaya Kakap Putih


Kakap Putih

Kakap putih termasuk komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pembudidayaannya di dalam KJA telah mulai berkembang, khususnya di Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Riau. Di kabupaten ini budi daya kakap putih di karamba telah dimulai sejak tahun 199o. Budi daya dalam KJA di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau mempunyai tujuan pasar luar negeri. Sebagian kecil dari produksi dipasarkan juga di dalam negeri. Untuk pasar luar negeri, kakap putih dalam keadaan hidup khusus dipasarkan ke negara Malaysia, Jepang, Hongkong, dan Singapura.



A. Sistematika: :
Famili : Centropomidae
Spesies : Lates calcarifer
Nama dagang barramundi, seabass
Nama lokal salamata, pelak, petakan, cabek, dubit tekong, kaca - kaca


1). Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Tubuh ikan memanjang dan gepeng. Warna tubuhnya kehitaman pada bagian punggung, sedangkan di bagian perutnya berwarna putih. Pangkal Sirip ekornya melebar. Sirip ekor berbentuk bulat. Sirip punggungnya terdapat 3 jari keras dan 7-8 jari lunak. Mulutnya lebar dengan geligi halus dan tajam. Matanya berwarna merah terang.


2. Pertumbuhan dan perkembangan

Di lingkungan Budi daya, baik di karamba maupun di tambak, ikan kakap, putih tumbuh dengan pesat. Ikan ini mampu mencapai ukuran 600-700 g dari bobot awal sekitar 20 g dengan waktu pemeliharaan selama 6-7 bulan di karamba.


Ikan kakap bersifat protandry hermaphrodite, yaitu tahap awal dalam hidupnya berkelamin jantan. Namun, setelah berukuran besar, ikan akan berubah kelamin menjadi betina. Perubahan kelamin sering terjadi pada induk yang bobotnya antara 2-3 kg.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya

Habitat asli ikan kakap putih adalah lingkungan laut. Ikan pemangsa (predator) ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubaban tingkat kadar garam lingkungan (eurihalin). Namun, ikan ini dapat pula tumbuh dan hidup di perairan tawar. Oleh karena itu, ikan kakap putih dapat dipelihara, baik di lingkungan air laut, payau maupun tawar. Suhu optimum bagi pertumbuhannya berkisar 27-30 derjat celcius dan pH 7-8.



D. Wadah Budi Daya

Di Bengkalis ukuran karamba yang digunakan adalah 3 m x 3 m x 3 m dengan kedalaman air sekitar 2,0 m. Ada juga karamba berukuran 7 m x 7 m x 3 m. Bahan jaring yang digunakan adalah. polietilen 210 D/15.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Benih siap tebar di tempat pembesaran (KJA) berukuran 5,0-7,5 cm atau bobot 50-70 g/ekor. Benih bisa diperoleh pada hatchery di Jawa, Lampung, Batam, maupun didatangkan dari Thailand dan Malaysia.


2. Penebaran benih

Benih yang ditebar berukuran 5,0-7,5 cm dengan kepadatan 65-8o ekor/m3 atau 40-5o ekor/m3 apabila ukuran benih yang ditebar 8o—1oo g.


3. Pembesaran
Pemeliharaan di karamba jaring apung berlangsung antara 7—10 bulan. Lama pemeliharaan• dapat dipersingkat dengan penggunaan ukuran tebar yang lebih besar. Selama masa pemeliharaan diusahakan agar ikanikan yang dipelihara seragam ukurannya dengan cara disortasi setiap bulan.



F. Pengendalian Hama dan Penyakit
i. Serangan pada kulit dan insang yang disebabkan oleh parasit Ciliata-protozoa, seperti Cryptocaryon spp., Trichodina, dan Trichodinella.


a) Gejala Minis
- Produksi lendir berlebihan pada insang dan permukaan tubuh.
- Ikan menggosok-gosokkan tubuh ke dinding bak atau jaring.
- Nafsu makan berkurang.


b) Pencegahan dan pengobatan

Perendaman ikan dalam air selama 1 jam untuk 3 hari berturut - trut , perendaman dengan formalin 25-30 ppm selama 24 jam, dlan menjaga agar kualitas air tetap baik.


2. Serangan pada kulit dan mata ikan oleh sejenis cacing trematoda dari Benedenia sp, Neobenedenia sp.


a) Gejala klinis
- Kehilangan nafsu makan.
- Berenang tidak normal.
- Luka pada kulit.
- Produksi lendir berlebihan terutama pada kulit, dan sirip geripis.


b) Pencegahan dan pengobatan
- kepadatan tebar harus diperhatikan (lebih rendah),
- pemberian pakan harus cukup memadai,
- perendaman dengan air tawar selama 5-10 menit, 3 hari berturut-turut
- perendaman dalam formalin 100 ppm selama i jam tiga hari berturut-turut



3. Serangan krustasea renik (Caligus sp., Ergasilus spp.)
a) Gejala klinis
- Sisik lepas.
- Nafsu makan berkurang.
- Tubuh kurus.
- Berenang tidak normal.

b) Pencegahan dan pengobatan
- perendaman dengan Neguvon 0,25 ppm selama 12-24 jam dilakukan setiap minggu.
- perendaman dengan Diptrex 0,25-0,50 ppm selama 24 jam.
- Pengendalian mekanis dengan cara pengambilan langsung dari tubuh ikan.


4. Lymphocystis virus yang disebabkan iridovirus

a) Gejala klinis
Penyakit ini biasanya tidak bersifat fatal, terutama pada ikan-ikan yang sudah berukuran besar. Penyakit ditularkan secara horizontal melalui air yang terkontaminasi Arus.

b) Pencegahan infeksi virus
Pencegahan penularan penyakit secara vertikal (dari induk), pencegahan penularan horizontal (selama masa pemeliharaan berlangsung) dan peningkatan daya tahan tubuh.

G. Panen
Ikan dapat dipanen setelah berukuran 6o0-700 g dengan waktu pemeliharaan 7-1 o bulan. Sistem panennya secara total. Adapun cara panennya seperti panen ikan di KJA.
sumber : Penebar Swadaya, 2008

Budidaya Ikan Kuwe


Ikan Kuwe

Kuwe merupakan salah satu jenis ikan permukam (pelagis). Ikan yang sangat digemari oleh masyarakat ini hidup pada perairan pantai dangkal, karang, dan batu karang. Di beberapa restoran sea food harga ikan kuwe berukuran 300-400 g berkisar Rp 15.o00 - Rp 20.000/ekor (2005). Adapun harga Gnathanodon speciosus saat berukuran kecil (3-5 cm) pada tahun 2007 adalah Rp 3.000 - Rp 5.000 per ekor. Ikan tersebut juga merupakan ikan hias yang diberi nama pidana kuning.


A. Sistematika
Famili : Carangidae
Spesies : Gnathanodon speciosus, Caranx melampygus, Carangoides uii, C. chrysophrys, C. talamparoides
Nama dagang : trevally
Nama lokal : bubara, kuwe macan (G. speciosus)


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Tubuh kuwe berbentuk oval dan pipih. Warna tubulmya bervariasi, yaitu biru bagian atas dan perak hingga keputih-putihan di bagian bawah. Tubuh ditutupi sisik halus berbentuk cycloid.

2. Pertumbuhan dan perkembangan
Kuwe dapat berenang cepat dan memiliki laju pertumbuban yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya. Ikan ini bersifat karnivora. Adapun pakan utamanya, yaitu ikan dan crustasea berukuran kecil. Ikan ini juga efisien memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat.


C. Pemilihan Lokasi Budidaya
Lokasi yang tepat untuk budi daya ikan kuwe adalah teluk yang terlindung dari ombak dan badai dan memiliki pola pergantian massa air yang baik.


D. Wadah Budi Daya
Ikan kuwe mempunyai prospek yang cukup baik untuk
dibudidayakan dalam karamba jaring apung. Salah satu keunggulan budi daya ikan dalam KJA adalah waktu panen dapat diatur menyesuaikan harga ikan di pasar sehingga akan diperoleh harga jual yang lebih tinggi.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Pengadaan benih
Pembenihan secara massal di hatchery telah berhasil dilakukan di Gondol, Bali. Namun, hingga kini sumber benih ikan kuwe di daerah terpencil masih dari alam. Benih dengan ukuran sekitar 20-25 g banyak tersebar pada perairan dangkal di sekitar daerah padang lamun. Benih tersebut dapat ditangkap dengan penggunaan alat tangkap, seperti redi (pukat pantai), sero, bandrong jaring angkat), dan bagan.


2. Penebaran benih
Penebaran ikan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Benih dimasukkan ke dalam karamba secara perlahan-lahan. Sebelum penebaran, kondisi kualitas air harus diperhatikan. Apabila kualitas air pengangkutan berbeda dengan kualitas air lokasi budi daya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan, terutama terhadap salinitas dan suhu.

Benih berukuran 20-25 g dapat ditebar dengan kepadatan sekitar 15o ekor/m3 untuk pemeliharaan selama 3 bulan. Apabila ikan telah mencapai bobot >250 g/ekor, padat penebaran harus dikurangi sampai 100 ekor/m3.


3. pemberian pakan

Ikan kuwe bersifat karnivora. Ikan ini di alam memakan ikan dan krustasea kecil. Oleh karena itu, hingga saat ini pakan yang terbaik untuk budi daya ikan kuwe masih berupa ikan rucah yang dipotong-potong sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya.

pakan diberikan sekitar 8-6% bobot badan per hari pada pagi dan sore hari. Perubahan jumlah pemberian pakan dilakukan setiap bulan setelah dilakukan pengukuran pertumbuhan. Adapun penggunaan pelet komersial juga bisa dilakukan. Pelet yang diberikan berupa pelet tenggelam dengan frekuensi pemberian pelet dua kali sehari dengan jumlah pemberian hingga kenyang.


F. Pengenddian Hama dan Penyaldt
Selama pemeliharaan ikan sering ditemukan parasit eksternal yang umum pada ikan budi daya laut, yaitu kutu kulit. Ada dua jenis kutu kulit yang ditemukan, yaitu Neobenedenia dan Benedenia. Jenis yang disebut pertama bersifat lebih patogen dibandingkan jenis kedua.

Neobenedenia tidak hanya menyerang permukaan tubuh, tetapi juga mata yang dapat menyebabkan kebutaan dengan infeksi sekunder oleh bakteri.

Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut adalah sebagai berikut.
- pemberian pakan harus cukup memadai dan tidak berlebihan.
- Kepadatan tebar tidak terlalu tinggi.
- Perendaman dengan air tawar selama 5—10 menit, tiga hari berturut-turut.
- Perendaman dengan hydrogen peroxida 150 ppm selama 30 menit dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan interval waktu 7 hari.


G. Panen
Setelah pemeliharaan selama 5-6 bulan, ikan kuwe dapat dipanen dengan ukuran konsumsi (300-400 g). Dengan kelangsungan hidup 70-95%, dapat dihasilkan ikan rata-rata 28 kg/m3. Pemanenan ikan dalam KJA sangat mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung kebutuhan.

Budidaya Kerapu Batik

http://hobiikan.netne.net/
Kerapu Batik

Sebagaimana halnya dengan jenis kerapu lainnya, kerapu batik merupakan jenis ikan karang bernilai ekonomis tinggi. Banyak terdapat di daerah perairan kepulauan, khususnya di wilayah perairan atol. Karena harganya yang tinggi, minat untuk membudidayakannya pun sangat besar.


A. Sistematika
Famili : Serranidae
Spesies: Epinephelus microdon
Nama dagang : small tooth rock-cod, camouflage grouper, marble grouper
Nama lokal :-


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik

Bagian atas kepala cembung. Kepala, badan, dan sirip berwarna cokelat pucat dan tertutup bintik-bintik berwarna cokelat gelap. Pada kepala dan badan terdapat bercak berwarna hitam tumpang tindih dengan bintik-bintik hitam tersebut.
Pada bagian pangkal ekor tampak jelas sebuah bercak hitam. Terdapat banyak bintik-bintik putih pada sirip dan beberapa di bagian kepala dan badan. Ujung sirip ekor membulat berbentuk busur.


2. Pertumbuhan dan perkembangan

Ukuran terbesar yang pernah dilaporkan 61 cm panjang standar dan bobotnya 4,o kg. Ikan kerapu batik betina mencapai matang kelamin pada ukuran ukuran bobot antara 0,5-1,8 kg dan panjang total antara 32,0-43,0 cm. Jantannya matang gonad pada ukuran bobot lebih dari 1,9 kg dan panjang total 44 cm.


C. Pemilihan Lokasi Budi Daya

Habitat asli ikan kerapu batik adalah perairan karang. Namun, jenis kerapu yang satu ini memiliki toleransi yang besar terhadap kekeruhan dan salinitas.


D. Wadah Budi Daya
Pembesaran ikan kerapu batik dapat dilakukan di karamba jaring apung, seperti halnya jenis ikan kerapu lainnya. Ukuran rakit dan karamba yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan target produksi dan ukuran ikan yang akan dibudidayakan. Adapun kerangka rakit yang digunakan sebaiknya berukuran 5 m x 5 m dengan ukuran jaring 2 m x 2 m.


E. Pengelolaan Budi Daya.

Pembenihan ikan kerapu batik sudah bisa dilakukan di hatchery. Adapun pembesarannya di KJA belum berkembang. Namun demikian, pemeliharaan jenis ikan ini disarankan untuk menggunakan teknik pembesaran jenis kerapu lain yang kini sudah diterapkan masyarakat.


F. Pengendalian Hama dan Penyaldt
Penyakit yang telah diketahui menyerang pada budi daya ikan kerapu batik adalah virus, seperti infeksi oleh viral nervous necrosis (VNN) dan iridovirus. Hingga saat ini, belum ada cara pengobatan untuk penyakit ini.

Untuk pencegahan penyakit ini, perlu dilakukan upaya secara berkesinambungan. Ikan Harus dihindarkan dari stres dan dipertahankan agar selalu dalam kodisi sehat. Untuk tujuan itu, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

1) Siapkan fasilitas di lokasi pembudidayaan.
2) Pilihlah benih yang sehat.
3) Berikan pakan yang berkualitas.
4) Kontrol penyakit (parasit dan bakteri).


G. Panen
Kerapu batik dapat dipanen setelah berukuran 5o0-60o g/ ekor. Umumnya ukuran tersebut diperoleh setelah pemeliharaan 6-8 bulan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung kebutuhan. Adapun cara panennya sama seperti panen ikan di KJA.

sumber : Penebar Swadaya, 2008

Kerapu Sunu


Kerapu Sunu

Kerapu sunu merupakan komoditas ekspor yang harganya cukup tinggi. Dua jenis kerapu sunu yang berharga tinggi dan terdapat di Indonesia yaitu P. leopardus (leopard corraltrout) dan P. maculatus (barred cheek corral trout). Harga jenis leopardus hidup dilaporkan mencapai sekitar US$ 3o/kg pada tahun 20o6.


Kerapu sunu merupakan ikan konsumsi laut yang mempunyai prospek pengembangan yang cukup cerah karena teknologi pembenihan massalnya telah dikuasai. Permintaan pasarnya dalam keadaan hidup sangat tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri.


A. Sistematika
Famili : Serranidae
Spesies : Plectropomus leopardus, P. maculatus
Nama dagang : spotted coralgrouper, spotted coraltrout, viele saintsilac, mero con pintas, mero de coral, coral cod, jin hou, sai sing
Nama lokal ; kerapu tiara


B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

1. Ciri fisik
Badan ikan memanjang tegap. Kepala, badan, dan bagian tengah dari sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan, cokelat, merah, atau jingga kemerahan dengan bintik-bintik biru yang berwarna gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan bagian depan badan sebesar diameter bola matanya atau lebih besar. Pada jenis kerapu sunu lodi kasar umumnya bintik-bintik biru di badan berbentuk lonjong. Sebaliknya, pada kerapu sunu lodi halus bintik-bintik ini berbentuk bulat dan lebih kecil ukurannya bintik-bintik yang ada di bagian belakang badan berbentuk bukat dan berukuran kecil.


Sementara itu, bagian bawah kepala dan badan tidak terdapat bintik-bintik biru. Namun, ada satu bintik biru pada pangkal sirip dada.

Bentuk ujung sirip ekor ikan kerapu sunu rata. Ujung sirip tersebut terdapat garis putih. Adapun pada sirip punggung ikan terdapat duri sebanyak 7-8 buah.



2. Pertumbuhan dan perkembangan

Laju pertumbuhan kerapu sunu bervariasi menurut kelas umurnya. Awal kehidupannya, laju pertumbuhan kerapu sunu berlangsung cepat, yaitu o,81 mm/hari dalam waktu 6 bulan sudah mencapai ukuran panjang total 14 cm.


Pada stadia larva, ikan ini termasuk jasad pemakan plankton. Adapun perubahan sifat menjadi karnivora dan predator terjadi sejak mencapai stadia juwana. Menjelang dewasa, ikan ini tergolong jenis ikan predator yang memangsa ikan-ikan keeil, udang, dan cumi-cumi.
Ikan ini termasuk hermaprhodite protogynous. Artinya, awal masa hidupnya secara seksual berstatus ikan betina, kemudian berubah menjadi jantan setelah mencapai ukuran tertentu. Perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total ikan berukuran antara 23-62 cm atau panjang total rata-rata 42 cm.



C. Pemilihan Lokasi Budi Daya

Lokasi atau lahan yang cocok untuk kerapu sunu, di antaranya salinitas airnya 30-35 ppt dan bersuhu 27-32 derajat celcius. Adapun syarat lainnya seperti tercantum pada Tabel 1. Ikan kerapu sunu juga hidup di terumbu karang pada kedalaman 5-50 M.


D. Wadah Budi Daya
Tehnik pembesaran yang sudah diterapkan masyarakat adalah pembesaran di dalam KJA berukuran 4 m x 4 m x 3 m. KJA tersebut dipasang mencuat sekitar 0,5 m di atas permukaan air.


E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Pembelian benih ikan sebaiknya berukuran lebih dari 12 cm dan dilakukan seleksi. Namun, biasanya harga benih akan lebih tinggi. Pemilihan benih yang benar, tepat ukuran, tepat waktu, dan sehat sangat membantu keberhasilan budi daya selanjutnya.

Benih yang sehat dengan pakan yang cukup akan tumbuh normal. Sebaliknya, benih yang tidak sehat, baik sakit maupun deformity (tidak normal), akan mengalami gangguan pertumbuhan meskipipun diberikan pakan yang baik dan cukup. Benih deformity bisa diketahui dengan pengamatan kondisi tubuh, kepala, insang, bentuk tubuh, ekor, dan tulang punggung.



2. Penebaran benih
Padat penebaran sangat tergantung pada ukuran ikan, wadah budi daya, dan bisnis yang sedang dilakukan. Untuk benih berukuran 150-300 g, padat penebarannya sekitar 20-4o ekor/ m3 sehingga akan dihasilkan laju pertumbuhan benih sebesar 2,3 g/hari.


Jika padat penebaran tinggi, akan terjadi persaingan pakan karena ukuran dan vitalitas yang berbeda. Semakin lama pemeliharaan, perbedaan tersebut akan semakin nyata sehingga perlu dilakukan grading untuk memisahkan antara yang besar dan kecil. Jika diperlukan, bisa dibuat tiga kelompok ukuran ikan sehingga masing-masing kelompok lebih seragam. Setiap kelompok dipisahkan pada karamba jaring yang berbeda. Dengan ukuran seragam, pertumbuhan ikan akan lebih normal.


3. Pembesaran

Benih yang digunakan dalam pembesaran di KJA disarankan berukuran lebih dari 12 cm sehingga masa pemeliharaan bisa dipercepat. Benih ukuran tersebut bisa diperoleh dengan cara membeli dari usaha pendederan. Ada juga pembudidaya yang
menggunakan benih berukuran lebih besar dengan bobot antara 50-100 g. Hal ini akan memperpendek waktu pemeliharaan untuk mencapai ukuran panen. Namun, harga benih dengan ukuran tersebut relatif mahal.


Untuk ikan berbobot sekitar 200 g/ekor, dapat dipelihara dalam karamba berukuran 4 m x 4 m x 3 m dengan jumlah sekitar 600 ekor.



4. Pemberian pakan

Selama tiga bulan pertama masa pemeliharaan, ikan diberi pakan berupa ikan rucah, seperti tembang, selar, dan peperek hingga kenyang (satiasi). Tujuh bulan berikutnya pemberian pakan hanya dilakukan satu hari sekali dengan dosis 4-6% bobot badan. Ikan tersebut akan tumbuh pesat dengan bobot awal rata-rata 209 g menjadi rata-rata 455 g selama 3 bulan pemeliharaan. Tingkat mortalitasnya berkisar 30% dengan catatan bahwa benih yang digunakan cukup baik mutunya. Dengan demikian, laju pertumbuhan ikan ini sekitar 2,67 g/hari. Adapun laju pertumbuhan ikan dengan menggunakan pelet untuk ukuran benih 150-300 g adalah 2,30 g/hari.


ikan yang akan diberi pakan buatan pada waktu pembesaran harus sudah dibiasakan diberi pakan buatan sejak benih. Hal ini disebabkan perubahan pakan ikan rucah ke pakan buatan perlu waktu, sedangkan perubahan dari pakan buatan ke pakan ikan rucah lebih respon. Sebagai acuan dosis dan frekuensi pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 8.




F. Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama utama dalam pemeliharaan ikan kerapu sunu adalah biawak dan burung. Upaya pengendaliannya adalah dengan cara bagian atas karamba ditutup dengan jaring atau terpal sehingga hama tidak bisa masuk.


Penyakit infeksi bakteri gram negatif merupakan penyakit utama pada kerapu sunu. Gejala akibat serangan penyakit ini, di antaranya ikan tidak mau makan dan lemah, berenang di permukaan, menyendiri, serta adanya luka di permukaan kulit. Penyakit tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.


prinsip pengendalian penyakit ini adalah "deteksi secara dini dan ambil tindakan secara cepat". Teknisi yang sudah terlatih dan berpengalaman sangat membantu dalam penerapan prinsip ini. Pengelolaan usaha budi daya yang baik, terutama persiapan secara baik, juga mendukung terwujudnya prinsip ini.

Penanggulangan penyakit yang dapat dilakukan adalah perendaman ikan yang sakit dengan formalin 1oo ppm selama 1 jam. Cara lainnya adalah ikan yang sakit dipisahkan, lalu direndam







dalam larutan streptomysin 1 g dalam 100 l air laut selama1 jam. adapun pencegahannya dengan mengganti jaring secara teratur dua minggu sekali, melakukan grading ukuran secara konsisten, memandikan ikan dengan air tawar selama 5 menit setiap 2-3 minggu, mengangkat atau memindahkan dengan cepat ikan yang mati atau ikan yang sakit dari jaring karamba.



G. Panen
Kerapu sunu dapat dipanen setelah mencapai ukuran konsumsi, yaitu sekitar 600 g dengan masa pemeliharaan 8—10 bulan. Sistem pemanenannya dapat dilakukan secara total, tergantung kebutuhan. Adapun cara panennya sama seperti paren ikan di KJA.
sumber : PEnebar Swadaya, 2008