Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestikasi dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul. Program domestikasi adalah langkah atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk unggul setelah perbaikan system budidaya tidak mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah penyakit. Meski lambat dimulai dibandingkan dengan vaname, proses domestikasi telah menghasilkan beberapa acuan baik dari sisi genetic engineering maupun pola seleksi konvensional untuk membuat sebuah broodstock center udang windu. Pada saat sekarang program seleksi telah mengasilkan generasi ke – 4, dengan masing – masing masa pemeliharaan selama 18 bulan untuk setiap generasi. Perbaikan kualitas utamanya kemampuan bereproduksi menjadi target perekayasaan untuk tahun – tahun mendatang. Perekayasan akan lebih difokuskan pada perbaikan nutrisi maupun kesesuaian media pemeliharaan termasuk penerapan biosekuriti yang lebih sempurna. Tujuan akhir dari proses domestikasi adalah induk bebas penyakit yang dapat mengasilkan benih yang dapat tumbuh cepat. Guna mengakselerasi pencapaian hasil telah terbentuk sebuah jaringan yang beranggotakan beberapa UPT Pusat DJPB (BBPBAP Jepara, BBAP Takalar, BBAP Ujung bate) yang didukung oleh Balai Riset Perikanan Budidaya (Gondol, Maros). Balai riset akan lebih banyak mendukung pada porsi engineering genetic termasuk mendapatkan gen marker untuk sifat tumbuh cepat serta trans genik untuk sifat WSSV resisten. Pada akhirnya hasil dari kegiaatan seleksi konvensional dan genetic engineering akan dipadukan untuk mendapatkan sebuah produk dengan kategori unggul.

Strategi pemuliaan


Calon induk windu F-4 yang dihasilkan saat ini berasal dari seleksi induvidu yang dimulai dari generasi I, II dan III. Populasi dasar yang digunakan adalah populasi yang berasal dari beberapa daerah penangkapan dengan keragaman genetik lebih tinggi. Dari beberapa populasi itulah, kemudian di”blending” untuk mendapatkan populasi dasar. Sejumlah proses termasuk kegiatan koleksi induk, karakterisasi dan inventarisasi sumber daya genetik dan koleksi kandidat terpilih dipertimbangkan untuk mendapatkan populasi dasar. Setidaknya terdapat lima sistem seleksi yang disepakati yakni seleksi individu, famili, super Health, Survivor dan Hibridisasi, namun baru seleksi individu yang dilaksanakan karena ketersediaan fasilitas yang masih dalam pembenahan.

Hasil Kegiatan

Pembesaran calon induk dari generasi pertama hingga ke 4 dilakukan di tambak dengan sistem berpindah. Secara keseluruhan lingkungan tambak yang digunakan dengan penerapan “farm level biosecurity” mampu mendukung sistem pemeliharaan terututama dalam hal mengeleminasi peluang masuknya organisme pathogen. Dari sisi pertumbuhan calon induk, sistem yang digunakan dapat mendorong tingkat pertumbuhan dengan rata – rata ADG sekitar 0.3 pada setiap generasi. Kualitas induk yang dihasilkan lewat proses domestikasi masih lebih rendah dari induk alam bila dibandingkan dengan tolok ukur respon terhadap ablasi, fekunditas serta daya tetas telurnya. Respon terhadap ablasi lebih lambat, terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan untuk matang gonad setelah ablasi. Fekunditas rata-rata per ekor induk berkisar 300.000 butir untuk ukuran induk 150 gram pada setiap generasi.


Gambar 1. Penampilan induk windu hasil domestikasi

Tidak adanya perbedaan fekunditas lebih disebabkan oleh penggunaan calon induk dengan berat tubuh sepadan. Daya tetas telur pada generasi ke dua dan ke tiga jauh lebih tingi dibandingkan dengan generasi pertama. Belum diketahui secara pasti apakah terdapat pengaruh generasi atau efek dari pengelolaan pakan ataupun lingkungan yang lebih baik.


Gambar 1. Daya tetas telur windu hasil domestikasi pada setiap generasi.

Terlihat hal yang berbeda cukup nyata pada hasil pemeliharaan larva hingga stadia PL-12. Peningkatan kelangsungan hidup larva dari telur yang dihasilkan terjadi pada setiap generasi. Pada penggunaan induk generasi I kelangsungan hidup larva tercatat hanya sekitar 10 %, dan meningkat menjadi 25% dan 55% pada penggunaan induk generasi ke dua dan tiga. Pengaruh seleksi juga terlihat dari pertumbuhan benih yang dhasilkan bila dibandingkan dengan benih non-seleksi.


(a) (b)

Gambar 2. Kelangsungan hidup larva dari induk hasil domestikasi yang terlihat meningkat setiap generasi (a); Perbandingan pertumbuhan benih dari induk non seleksi (NS) dan induk hasil domestikasi serta seleksi (S) pada 3 bulam pertama masa pemeliharaan di tambak (b).

Sumber : Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau - Jepara

No comments:

Post a Comment